Minggu pagi di ruang tamu selebar 4x3 itu, tangan lentik Nala telaten mengoles obat merah di luka robek pada tonjolan tulang hidung dan kening abangnya. Berlanjut dengan kompres air dingin pada pelipis sebelah kanan. Sesekali Ranu akan mendesis, tapi dia membiarkan adiknya menyelesaikan semua urusan lukanya.
"Mata Mas masih merah," ucap Nala prihatin setelah cukup lama ia merawat masnya dalam diam, hanya disaksikan kursi-kursi ruang tamu yang joknya mengeras.
"Mas jangan ngalah terus, dong. Nggak salah, ya menghindar." Kali ini gadis itu terdengar menggerutu.
"Mas denger nggak sih aku ngomong?" Lama-lama Nala kesal juga lantaran ucapannya sama sekali tidak ditanggapi.
"Aku nggak keberatan," kata Ranu akhirnya.
"Tapi Mas yang rugi. Ini sakit, lho." Saking gemasnya pada si abang yang dinilai begitu naif, pada frasa terakhir Nala sengaja menekan memar di pelipis Ranu, membuat pemuda itu tersentak kecil. "Tuh, kan?"
Ranu terdiam menatap adiknya tanpa ekspresi sebelum kembali berisyarat, "Ini nggak seberapa dibanding dosa yang aku lakukan."
Kali ini Nala yang dibuat tertegun. Tangannya turun dari pelipis Ranu. Menghela napas panjang, gadis itu lantas menyanggah, "Mas... Mas Ranu nggak salah. Berapa kali, sih, Nala bilang? Dulu Mas kelepasan karena Mas Ranu juga punya batas kesabaran. Dihina terus-terusan aja Mas diem. Mas baru bertindak karena nggak tahan lihat Bunda disakiti. Coba seandainya Bunda nggak disentuh, Mas pasti masih ngalah-ngalah aja, kan?"
Tatapan Ranu pada adiknya semakin sendu, berbeda dengan si gadis yang tampak kesal. "Tapi seandainya aku nggak kelepasan, semua ini nggak akan terjadi. Nasib kita nggak akan begini."
Kehabisan bantahan, Nala mendengkus kasar. Dia tahu yang dikatakan kakaknya tidak sepenuhnya salah.
Setelah beberapa saat hanyut dalam pikiran masing-masing, Ranu mengernyit melihat telinga adiknya yang tak tertutup apapun sebab rambut hitam Nala yang lebat digelung asal. "Anting kamu ke mana?"
Yang lebih muda tampak sedikit terkejut, lalu air mukanya berubah takut-takut. "Maaf, Mas. Itu... Nala jual."
"Kenapa?" Kedua alis Ranu semakin bertaut. Dapat Nala bayangkan seandainya kakaknya bisa bicara, pasti suaranya sudah menegang.
Perlahan sekali Nala meletakkan kompres di samping tempatnya duduk, seolah suara sekecil apapun bisa saja membangunkan singa tidur. "A-anu... Tiba-tiba ada buku tambahan lagi di sekolah."
"Kok nggak bilang?"
"Nala nggak enak minta-minta terus...."
Bibir Ranu terbuka kecil saat ia menatap wajah polos adiknya yang tertunduk perlahan. Mengenal si bungsu sejak gadis itu masih di kandungan Bunda, memperhatikan senyum dan tangisnya sejak hari pertama kehadirannya di dunia, dan ikut menimangnya sampai adik kesayangannya tumbuh menjadi remaja manis yang tingginya hampir 160 senti kini membuat Ranu tahu kapan Nala berbohong, kapan dia jujur. Saat ini Nala berkata jujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Descent || Part Of Purple Universe Project
FanfictionPurple Universe Project || Taehyung part "Masih pantaskah penyanyi yang tidak bisa menyanyikan lagunya sendiri disebut penyanyi? Jika tidak, lalu aku ini apa?" Nama penyanyi muda Rhea Anahita menjadi dua kali lebih terkenal sekaligus tercemar setela...