15. We Are What We Think

71 10 0
                                    

Vote dulu kuy!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote dulu kuy!

"Merasa salah jurusan."

"Oh...."

Rhea tahu, oh yang dilontarkannya sebagai respons atas pengakuan Ranu barusan terkesan sangat nirempati. Namun dia kehabisan niat untuk menyambung percakapan lebih jauh sehingga tidak ada lagi pembicaraan sepanjang perjalanan kembali menuju Concordia. Selama itu pula atmosfer di dalam bangun sempit yang Rhea kemudikan terasa sesuram mendung di luar sana. Ranu lebih banyak menunduk atau mengamati jalanan yang bergerak mundur dari jendela. Sedangkan Rhea digelayuti berbagai teori pesimis dalam benaknya.

Pemuda yang duduk di sebelahnya ini, sebenarnya lelaki seperti apa? Rela berlarian di tengah hujan tanpa alas kaki dan mengorbankan jaketnya sampai basah kuyup untuk bernaung, pernah membuat keributan dengan pemabuk tak dikenal demi melindungi gadis yang tak begitu dikenal pula. Apakah dia melakukannya pada semua orang? Apakah Ranu juga akan menerima pelukan dari setiap gadis yang diakuinya sebagai teman?

Selama ini Rhea hanya memahami rasa sukanya saat mendengar petikan gitar Ranu, sorot matanya yang tegas tetapi lugu dan menenangkan, senyumnya yang semanis permen kapas, potongan-potongan lagu yang dikirim lewat pesan singkat, serta pemikirannya yang selalu bijak. Di matanya, Ranu begitu mirip burung elang yang tangguh dan bebas, yang mampu terbang ke mana pun saat ia dibutuhkan. Namun kenapa melihat senyum semanis permen kapas milik Ranu untuk Talita dan pelukan itu membuat Rhea merasa benci? Saat Talita merapat begitu dekat pada Ranu demi mengambil potret, mengapa Rhea sangat ingin menjambak rambut keduanya? Dan kenapa dia merasa tak terima saat Ranu dengan mudah mengikuti balik akun Instagram Talita?

Untuk pertama kalinya Rhea merasakan kemarahan lancang yang seharusnya tak pernah dirasakan oleh seorang teman. Ia lantas merasakan isi perutnya dipelintir perlahan saat sadar, lewat kemarahan itu pula samar-samar ia dapat merasakan sesuatu tumbuh dalam dirinya.

"Lho. Nggak tidur, Nu?"

"Mau sekalian Sholat Isya', Bu."

"Sudah setengah delapan, lho. Mau tidur jam berapa? Wong nanti kerja," ujar Saraswati sembari membereskan sisa wadah-wadah kotor di meja makan ketika Ranu selesai mengambil wudhu dan melewatinya.

Hanya garukan di tengkuk yang Ranu tunjukkan sebagai jawaban.

"Habis sholat, makan sekalian kalau gitu. Mumpung semua masih hangat."

Kali ini Ranu mengangguk, perutnya memang lapar karena terus terjaga. Maka setelah menunaikan ibadah, ia kembali ke ruang makan dan menuangkan apapun yang tersisa di meja itu ke piringnya.

"Makan kok sambil ngelamun, toh, Nu? Nanti keselek, lho."

Ranu berjengit dan hampir benar-benar tersedak saat sadar ibunya baru saja selesai mencuci piring dan gelas, lalu duduk di hadapannya.

Silent Descent || Part Of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang