17. Kepercayaan

54 3 0
                                    

Vote dulu lah 😚

Ranu yakin akal sehatnya hampir hilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ranu yakin akal sehatnya hampir hilang. Sejak melambaikan tangan terakhir kali pada Rhea beberapa menit yang lalu, gerimislah yang menyadarkannya bahwa ia telah tersenyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan pulang. Keresahan yang ia rasakan berhari-hari mendadak saja surut seperti ember yang dikuras airnya. Dalam hati ia menyenandungkan lagu-lagu romantis yang ia tahu. Aduh! Betapa bersinarnya Rhea Anahita. Ia masih tampak semenarik merpati putih meski datang dengan muka bantal dan hanya mengenakan daster kusut sambil mengomel tak jelas. Tanpa riasan apapun Rhea justru terlihat beberapa tahun lebih muda dan lucu. Jenis kecantikan yang mengundang keinginan Ranu untuk melindunginya dari jangkauan tangan-tangan tak bertanggung jawab. Ranu juga tak bisa lupa akan jawaban gadis itu saat ia bertanya, "Kenapa kamu mau berteman denganku? Dan... Kenapa kamu berani mengajak aku jalan-jalan berdua?"

Sungguh, segala yang Ranu alami pagi ini seperti suntikan endorfin yang membuatnya mabuk kepayang dalam kegembiraan. Tanpa peduli hujan semakin lebat, Ranu tetap bersenandung dalam hati hingga memasuki area pemukiman kediamannya yang padat. Namun secepat debu jalanan tersapu hujan, seluruh euphoria berganti gusar saat ia melihat tetangganya, perempuan gemuk tiga puluh tahunan berhijab celingukan di langkan teras rumah kontrakannya.

"A' Ranu! Untung Aa' datang." Sebelum Ranu bertanya, ibu itu sudah kembali berucap panik, "Tadi saya dengar ibunya Aa' teriak keras banget. Mau saya tengok tapi pintunya ditutup. Saya panggil-panggil nggak ada jawab."

Tanpa menunggu penjelasan lebih jauh, Ranu segera menghambur masuk. Lantas didapatinya sang ibu terduduk murung di lantai dapur. Dapat Ranu lihat pula serpihan piring keramik putih yang sudah terpecah belah, menyebar ke berbagai sudut ruangan. Dengan gerakan waspada Ranu mendekat dan berjongkok di hadapan wanita itu. Disentuhnya pundak sang ibu hingga kepala Saraswati bergerak dari tunduknya. Lalu saat tatapan mereka bertemu, Ranu langsung paham apa yang terjadi. Tatapan murka dan nestapa itu terlihat lagi. Maka sembari menggeleng lirih, segera dipeluknya erat sang ibu untuk mencegah hal buruk terjadi.

Saraswati mulai mendorong tubuh putranya menjauh tapi Ranu mendekapnya lebih erat.

"Mire," gumam sang ibu, dingin. (Bahasa jawa - Pergi.)

Ranu menggeleng.

"Mire!!!" Kali ini Saraswati berteriak menggema memenuhi ruangan seiring tubuhnya meronta lebih keras sehingga Ranu kewalahan. Pelukannya sempat terlepas hingga Ranu jatuh terjengkang, menahan tubuh dengan tangannya. Namun sesegera mungkin ia bangkit dan kembali mendekap ibunya erat.

Bila diingat kembali, Ranu hampir tak pernah menyesal menjadi tunawicara. Bahkan meski ia harus menerima perlakuan berbeda seumur hidup dan selalu kesulitan mengungkapkan pendapatnya sendiri, sejak dapat berpikir ia telah belajar untuk berdamai dengan keadaan. Hanya di saat seperti ini Ranu merasa demikian tak berguna, terpuruk oleh kekurangannya yang tak bisa menyuarakan barang satu kata pun untuk memperbaiki keadaan.

Silent Descent || Part Of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang