Cukup lama Ranu mematut diri di depan lemari yang terbuka, menatap lamat kemeja batik motif Sidomukti khas Solo yang baru saja ia kembalikan ke tempatnya sembari mengusapnya perlahan seolah benda itu pusaka berharga. Namun begitulah adanya. Baju itu adalah salah satu yang tersisa dari masa ketika semua orang di rumah dapat tertawa lepas, berkumpul di meja makan sebagai keluarga yang saling menyayangi. Kata Ayah, batik itu dibeli dari Pasar Klewer dekat Keraton Kasunanan Surakarta ketika beliau sedang dalam perjalanan bisnis. Ayah memberikan satu kemeja pada Ranu, satu kemeja lain untuk kakaknya, beserta dua kain bermotif sama untuk dijadikan bawahan kebaya Nala dan Bunda.
Sido yang berarti jadi dan mukti yang berarti sejahtera merupakan doa agar semua yang memakainya selalu memperoleh kesejahteraan. Itu sebabnya dulu Sidomukti tersebut menjadi pakaian favorit yang kerap mereka kenakan bersama di acara penting. Namun takdir menciptakan ironi sehingga kini batik itu menjelma barang terlarang yang harus dienyahkan, setidaknya disembunyikan, atau kemunculannya akan membawa kiamat kecil di rumah. Maka ia mengambil kemeja lain berwarna cokelat muda, senada dengan celana bahan cokelat tua yang tadinya akan ia pasangkan dengan batik Sidomukti tadi. Ikat pinggang dikenakan, rambut yang sudah dipotong lebih pendek disisir rapi dan diberi sedikit gel. Selesai.
Suara salam dari arah pintu depan menariknya keluar kamar. Ranu menyapa ramah dengan caranya, mempersilakan pria itu duduk di ruang tamu selagi menunggu yang lain bersiap. Sementara ia bergegas menemui Bunda di kamarnya.
"Wah. Ganteng banget kamu, Nu."
Menggaruk tengkuk, Ranu mengulum senyum malu. "Bunda juga cantik sekali," pujinya pada sang ibu yang sedang berdiri di depan cermin lemari, sibuk memasang hijab sewarna gamis kuning pucatnya.
Saraswati tertawa kecil. "Kamu kalau bilang gitu di depan cewek sambil senyum model begitu, bisa gawat lho, Nu."
Ranu tersenyum semakin lebar hingga matanya menyipit, tahu bahwa Bunda sedang berusaha mencairkan ketegangan.
"Tadi kok kaya suara Pak Tatang?"
Ranu mengangguk.
"Eh, ya udah ayo berangkat. Panggil Nala, gih."
⭐
"Bu Saras gimana kabarnya?" Pak Tatang, sopir yang tengah mengendarai BMW X5 hitam keluaran 2020 itu menyapa ringan.
"Alhamdulillah, Pak. Baik."
"Saya sampai kangen ngantar Ibu sama Teh Nala ke sekolah, lho. Sudah berapa tahun, ya?"
Hening sejenak, lalu jawaban dilontarkan oleh Nala, "Tiga tahun, Pak."
"Mas Ranu sudah lulus kuliah ya kayaknya?"
Sesaat Nala menangkap gelagat Ranu yang kebingungan menerima pertanyaan itu, hingga yang termuda berinisiatif bicara dengan nada bercanda, "Mas Ranu lulus lebih cepat, Pak. Dosennya nggak betah sama tingkahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Descent || Part Of Purple Universe Project
FanficPurple Universe Project || Taehyung part "Masih pantaskah penyanyi yang tidak bisa menyanyikan lagunya sendiri disebut penyanyi? Jika tidak, lalu aku ini apa?" Nama penyanyi muda Rhea Anahita menjadi dua kali lebih terkenal sekaligus tercemar setela...