♛ Episode 5

5 1 0
                                    

Bertemu denganmu adalah syukur terbesar dalam hidupku
Sedangkan kembali bertemu kamu setelah semuanya adalah hal paling beruntung yang terjadi dalam hidupku

Rivany menatap hampa ke arah jendela. Menyaksikan betapa banyaknya bintang yang bersinar di malam hari ini. Juga betapa cerah dan cantiknya langit malam. Pun sembari menunggu kedatangan Ibunya yang berjanji, namun tak kunjung menampakkan diri.

"Apakah tidak jenuh?"

Rivany menoleh ke arah sumber suara yang tiba-tiba muncul itu. Ternyata sosok yang Lynara bicarakan. Tanpa sadar, Rivany terus memperhatikan mata laki-laki di hadapannya yang nampak indah. Seolah hanya pandangannya saja membuat Rivany hanyut kedalamnya. Menakjubkan!

"Ekheeemm..."

Rivany terkejut dan sadar bahwa ia baru saja bertingkah tidak sopan.

"Apakah tidak sepi?" menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan lainnya, Rivany tersenyum.

"Entahlah, apa ada yang harus diratapi atau disesali? Bagiku tidak, jadi aku pun tak merasa kecewa karena ketidakhadiran seseorang. Ataupun sakit karena terlanjur berharap pada kepercayaan yang salah," jawab pria itu sembari mendekat ke arah jendela.

Ia menaikkan sebelah tangannya lalu menempelkannya di kaca, seolah memegang sebuah gedung yang jauh di sana.

"Manusia itu unik. Orang sakit mengharapkan begitu banyak hal dari orang yang sehat. Namun terkadang, tidak semua orang sehat memiliki tiga hal untuk orang sakit. Tiga hal itu cukup kita kenal dengan nama Biaya, Waktu, dan Tenaga.." Rivany terdiam mendengar perkataan tersebut. Diliriknya pria itu yang memandang ke arah malam yang begitu luas.

"Namaku Athala, kalau kamu?"

DEGG!!
Nama yang baru disebutkan itu, mengapa terasa familiar?

"Aku Rivany. Kamu pasti sudah tahu. Tapi tetap bertanya untuk basa-basi bukan?" tanya Rivany.

"Iya, soalnya kalian berisik. Jadi aku dengar semuanya," jawab pria itu dengan angkuh membuat pipi Rivany memanas seketika karena malu.

"Ekheem, kamu sendiri kenapa cuma sendiri tapi ngga kesepian?" Saat ia bertanya apakah pria itu merasa sepi tadi, jawabannya ia hanya tidak menyesal. Namun, tidak menyesali kesepian tidak berarti tidak merasakan perihnya kesepian bukan?

"Kan ada kamu, jadi ngga sendiri lagi—" Athala menoleh melihat raut wajah Rivany yang kaget.

"Bercanda. Aku cuma gapunya keluarga aja. Jadi ga akan ada yang datang. Teman? Aku blacklist semua orang dari hidupku. Karena aku memang mau sendiri. Just it," ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya setinggi bahu.

Bodoh. Memangnya siapa yang tak membutuhkan orang lain dalam hidup?

"M-maaf kalau aku menyinggung," meski mengumpat dalam hati, Rivany merasa jawaban itu terlalu sensitif dan ia rasa ia telah salah bertanya.

"Ngga kok, sans aja." Athala tersenyum. Senyumnya begitu manis. Mata yang seolah begitu dalam dan luas seperti samudra senantiasa membuat Rivany hanyut dalam pandangan itu.

Apakah ada guna-guna di mata itu— Rivy kamu gila!

"Jawab aku dong sekarang, kamu ga jenuh nunggu ibumu datang?" tanya Athala dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Capek sih hahaha. Jenuh, bosan. Tapi tetep berharap. Rasanya kayak, kamu tahu orang itu ga akan datang tapi kamu tetap percaya sama secarik kertas manis yang orang itu tulis dengan cinta," jawab Rivany dengan tawanya yang hambar.

Athala hanya tersenyum menanggapinya.

Kamu selalu sama, tak pernah berubah sedikitpun. Selalu saja berharap pada harapan yang rapuh seperti hamparan pasir. Bukankah mereka akan tersapu angin dengan mudah? Lihatlah yang jauh di sana. Padahal di dekatmu selalu ada hal-hal yang dapat membuatmu terpana.

Tiba-tiba saja Athala memegang dadanya. Ia seperti menahan sakit yang luar biasa. Rivany panik dan berteriak memanggil dokter dan perawat yang bertugas. Mereka memapah Athala dan segera melakukan tindakan. Desas-desus yang Rivany dengar bukanlah kabar baik. Sepertinya kondisi laki-laki itu cukup buruk. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk memindahkan Athala ke ruang ICU.

"Bagaimana bisa kondisinya begitu memburuk hanya dalam satu waktu?" tanya Dokter muda itu pada suster yang biasa memeriksa keadaan Athala secara berkala. Suster itu hanya menggeleng. Kondisi Athala benar-benar aneh.

Dalam keheningan malam yang semakin sunyi setelah mereka membawa Athala ke ruang ICU, Rivany berdoa sepenuh hati untuk keselamatan laki-laki itu— yang bahkan baru ia temui malam ini. Di sebuah rumah sakit tempat Ibunya menitipkan dirinya yang sakit, karena tak dapat merawat putrinya secara langsung.

Waktu semakin larut, suster yang merawat Rivany memintanya untuk segera beristirahat. Rivany yang masih dalam pengaruh obat, mau tak mau memejamkan matanya dengan mudah. Saat ia akan terlelap, ia mendengar suara pintu ruang rawat inapnya terbuka.

Rivany mendengar napas seorang wanita yang terengah-engah. Namun, matanya begitu berat dan enggan untuk kembali terbuka. Ia pun terlelap dalam tidurnya.

"Sayang, maaf mama terlambat datang" bisik-bisik yang samar terdengar di telinga Rivany sesaat sebelum mimpi menyeruak dalam tidurnya.

Leonora mengusap kepala Rivany. Demamnya sudah cukup turun. Tetapi Rivany belum cukup pulih. Biar saja dia beristirahat.

Seorang Ibu, mau memiliki seribu luka sekalipun... Tetap saja dia adalah seorang Ibu. Namun, apa yang harus Leonora lakukan pada dirinya yang sakit? Rasa sakitnya hanya akan membawa luka pada orang yang disayanginya sepenuh hati. Diperjuangkannya antara hidup dan mati.

Meski menyangkalnya dengan seribu alasan, Leonora menyadari betapa besar kebencian Rivany padanya. Sekaligus betapa besar rasa cinta anak itu padanya.

Air mata Leonora mengalir, tatkala ia mengingat kenangan bersama anak pertama dan suaminya.

"Mamah mau punya adek? Aku bakal jadi Abang dong?"

"Iya! Mulai sekarang kayaknya mama panggilnya Abang aja boleh?"

"Papa juga deh kalo gitu! Papa panggil Abang juga ya?"

"Yeaayy aku jadi Abang!!"

"Lihat deh, nama ini bagus ya Ma? Kalau anak kita sudah lahir nanti... Pasti cantik kayak Mama. Kita kasih nama dia Rivany gimana?"

"Ide bagus, namanya cantik mas.. aku suka. Pakai nama kamu juga ya, biar kayak marga keluarga,"

"Boleh juga!"

"Abang sayang Mama Papa, makasih udah bikinin Abang Adek..."

"Hahahaha dengan senang hati papa buat"

"Ish! Gamau aku"

"Udah jadi, sayang.."

Leonora mengusap air matanya. Suasana kala itu juga tawa yang menyertai keluarga mereka. Seketika semua itu hanya tinggal cerita. Sebuah kisah yang kini tak lagi abadi. Hubungan yang kini telah kandas. Luka yang kini terasa pilu. Membekas dan menghujam dalam di hatinya.

Di genggamnya tangan Rivany. Leonora mengucapkan segenap doanya dengan hati yang paling dalam. Leonora rindu. Hatinya menangis. Jiwanya menangis. Pun raganya ikut menangis.

Malam yang sunyi kini berubah jadi sendu. Tiga orang dengan hati yang lelah itu tengah berjuang dengan tertatih-tatih. Langkah yang terseok. Dan arah yang terlalu berliku.

Dunia, tolong berhenti bercanda?!

Rivany Athala, Ketika Dimensi BermainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang