♛ Episode 3

18 4 1
                                    

Terkadang, dewasa mengerti
Hanya saja ruang gerak berbatas
Ingin memperbaiki namun terpatri akan sesal yang terlanjur abadi
Adakah jalan untuk kembali?

"Izinkan ku lukis senja, mengukir namamu di sana. Mendengar kamu bercerita, menangis tertawa~ Biar ku lukis malam. Bawa kamu bintang-bintang, tuk temanimu yang terluka. Hingga kau bahagia~"

Dhanu Adibrata— ayah dari Ardhan tiba-tiba datang sambil menyanyikan lagu Budi Doremi yang berjudul Melukis Senja, sontak membuat Rivany segera menghapus jejak air matanya.

"Om!" Panggil Rivany lalu mencium tangan pria itu dengan sopan. Rivany tersenyum kikuk. Ia jadi malu karena menangis di depan pintu sampai tetangganya melihatnya. Bukan hanya Ardhan, tapi bahkan Om Dhanu pun datang.

"Nah, gitu dong. Senyum, cantik kan? Iya ngga, Dhan?"

"Weee jelas dong, Pa! Anak Gadis itu emang cantik apalagi kalo senyum. Kalo jadi ganteng, namanya Ardhan bukan Rivany," celoteh Ardhan dengan wajah jailnya.

"Betul juga hahaha. Nah, Rivy... Ini Om bawakan ayam geprek. Tadi kebetulan Om salah pesan, harusnya hanya pesan 2 tapi yang datang 4 porsi. Bisa aja sih Om minta Ardhan habiskan semuanya. Tapi besok dia jadikan alasan ga masuk sekolah kan gawat. Jadi buat kamu aja 2 porsi lainnya. Makan dengan mamamu ya," ujar Om Dhanu sambil memberi 2 paket ayam geprek tersebut.

"Waah, jadi enak. Makasih ya Om!"

"Sama-sama. Karena udah mau malam juga, Om pamit ya bawa Ardhan-nya pulang. Biar sekarang ayam geprek yang melukis senja nya, ya thoo?" Rivany tertawa. Om Dhanu dengan tingkahnya yang ada-ada saja tapi terasa hangat hingga Rivany merasakan sosok Ayah meski ia tak punya.

"Siap, Om. Sekali lagi, makasih ayam gepreknya hehe. Lo juga ya, Dhan. Thanks for today. Nanti tehnya gua minum. Mau tau aja seenak apasih teh buatan Tuan Muda Asia, hahaha."

Ardhan mengedipkan sebelah matanya seolah bicara, 'ya jelas enak banget lah, orang yang bikin si paling ganteng' sambil melenggang pergi ditarik Om Dhanu.

Bisa-bisanya tanpa sepatah kata pun, suara bocah itu terbayang di kepala Rivany.

Rivany melihat ayam geprek di tangannya. Wangi! Dalam hati ia bersorak, akan kujalani dengan makanan pedas! Ayo nangis lagi versi lain.

∆∆∆

"Ardhan, Papa tahu kamu menyayangi Rivy. Tapi tidak baik memukul tengkuk tetangga sebelah hanya karena itu. Terlebih wanita itu kan— ah intinya mana boleh begitu? Bagaimana jika ada orang lain lihat dan mereka salah paham? Kamu bisa digebuki masa," ujar Dhanu mencoba membuat putranya agar tidak bertindak serampangan.

"Tapi, Tante Nara nampar Rivy. Ardhan ga terima, Pa!"

Dhanu terkejut. Relung hatinya terasa nyeri. Akhirnya ia mengerti mengapa Ardhan begitu tergesa-gesa tadi.

"Lain kali, berhati-hati. Okay?"

"Sure."

Ardhan memikirkan betapa peliknya segala permasalahan. Tapi biarlah waktu yang menghadapinya perlahan. Manusia mungkin bisa berusaha. Namun, semesta tak henti mengejutkan hari demi hari. Bullshit moment! Memangnya siapa yang butuh hidupnya dibercandakan oleh takdir?

-Keesokan harinya di rumah Rivany-

Leonora terbangun dengan tengkuknya yang sedikit nyeri. Ia lalu melihat secarik kertas dan segelas air yang Rivany siapkan untuknya.

'Mama, Rivany sayang banget sama Mama. Kemarin, ada sedikit kehebohan dan Ardhan bantu Rivany. Ardhan juga titip pesan, kalau tengkuk Mama sakit tolong maafkan Ardhan untuk itu. Oiya, Mama pasti haus kan? Diminum ya, Ma. Di kulkas juga ada paket nasi ayam geprek dari Om Dhanu. Kemarin Rivany makan 1 porsi. Tapi Mama ngga mau bangun dan nemenin Rivany makan. Tapi jangan buat sarapan ya, Ma ayam geprek-nya? Nanti Mama sakit perut. Jadi mama bawa aja buat di kantor. Dan... selamat bekerja, Mama. Mama jangan khawatir sama Rivany ya. Pokoknya love you more, moms'

Air mata Leonora menetes saat membaca surat dari putrinya. Ia ingin merutuki dan memaki dirinya sendiri. Mengapa harus seperti ini? Mengapa dia harus melukai anak yang sebaik dan semanis ini?

Aku harus buatkan Rivany sarapan yang paling dia suka, pisang goreng nugget coklat keju?

Selesai berkutat dengan masakannya, Leonora pun hendak memanggil putrinya untuk ia ajak sarapan bersama.

"Sayang, sarapan dulu yuk?" panggil Leonora mengetuk pintu kamar Rivany. Namun hening, tak ada jawaban.

"Rivy? Kamu di dalam kan? Mama masuk ya..." masih hening.

Kok tumben ya? Aneh. Aku harus masuk!

Leonora memasuki kamar Rivany dan mendapati putrinya tengah menggigil. Ia segera mengecek dahi Rivany dan benar saja, anak itu demam.

Aku melakukan apa ya kemarin..

Leonora segera mengambil kompres dan merawat Rivany. Pipi putrinya nampak memar. Leonora mengepalkan tangannya.

Aku adalah ibu terburuk di dunia, maaf maaf maafkan Mama sayang!

Leonora menggelengkan kepalanya. Ia harus tetap berpikir jernih. Pertama-tama, ia harus menghubungi guru wali kelas Rivany dan mengabarkan kalau putrinya berhalangan hadir karena sakit.

Bagaimana dengan pekerjaannya? Persetan dengan itu semua. Rivany-nya hanya memiliki dirinya. Bagaimana bisa sebagai seorang ibu ia meninggalkan Rivany yang bahkan merintih saat ini?

"Halo? Pak Affan, saya minta maaf. Saya ingin mengambil cuti saya untuk hari ini pak. Anak saya demam tinggi... "

"Cuma demam kan? Meeting sama Pak Hendra udah lama kita rencanakan lho. Masa kamu mundur cuma karena itu. Jangan lupa kita udah susah payah atur jadwal biar Pak Hendra datang. Tolong tetap laksanakan meeting ini dengan sempurna. Saya harap kamu mengerti-"

"Tapi pak—"

Leonora melempar ponselnya karena Affan sialan itu mematikan telponnya sepihak bahkan menolak cuti yang dia ajukan. Cuma demam katanya? Semoga dia merasakan saat hanya dia yang bisa mengurus anaknya, lalu anaknya demam dan pekerjaan tidak bisa ditinggalnya.. astaga! Tidak baik mendoakan orang lain dengan keburukan.

Kepala Leonora berdenyut. Akhirnya Leonora memutuskan untuk membawa Rivany ke rumah sakit. Lebih baik Rivany dirawat di sana sementara, meski ia harus rela melakukan perjalanan jakarta-puncak dan sebaliknya setiap hari. Itu lebih baik daripada meninggalkan Rivany sepenuhnya.

Affan sialan!

-Pak Affan #HR-
'Bapak menolak cuti yang bahkan jarang saya ajukan, tapi saya coba mengerti. Meeting akan saya lakukan, tapi tolong bantu saya atur mundur jadwalnya sedikit. Saya harus membawa putri saya ke rumah sakit. Bapak bersedia bukan? Asalkan saya tidak membatalkan janji dengan Pak Hendra!'

Setelah mengirim pesan pada Affan, Leonora berusaha membawa Rivany ke mobilnya dengan susah payah. Lalu pergi ke rumah sakit terdekat.

Maaf sayang, Mama harus ke puncak hari ini juga. Bos sialan itu sulit sekali diajak kompromi. Tapi, Mama janji akan datang malam ini ke kamar rawat inap kamu nanti. Cepat sembuh, nak. Mama harap kamu tidak sakit lagi.

Rivany Athala, Ketika Dimensi BermainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang