1. Kehidupan Yasmine

197 18 0
                                    

Dengan langkah lunglai, Yasmine mendorong gerbang rumahnya. Kepalanya ramai, menyusun sejumlah rencana kegiatan yang akan dilakukan begitu memasuki kamar. Membersihkan wajah dari berbagai polusi, mandi, salat asar, lalu merebahkan punggungnya sembari menunggu salat magrib. Sepertinya akan sangat nyaman berpelukan dengan kasur setelah segudang keringat lolos dari tubuhnya.

Bruk!

Baru beberapa detik hati Yasmine berbunga membayangkan kegiatan menyenangkan, rasa lelahnya harus ditambah dengan mendaratnya sebuah bola plastik di kepala. Ia hanya bisa berusaha mengatur napas ketika bola biru itu menggelinding dan berhenti di depan sepatu ketsnya. Tidak ada permintaan maaf dari pelaku, yang terdengar justru pekikan tawa dari sejumlah orang yang ada di halaman depan.

"Kak, lempar bolanya, dong!" teriak seorang anak laki-laki. Tanpa mengangkat pandangan pun, Yasmine bisa tahu bahwa itu adalah suara Beny.

Perempuan itu tidak banyak bicara. Dengan bibir yang mengatup rapat, Yasmine langsung memungut bola plastik di kakinya dan melemparkan dengan kekuatan yang tersisa.

"Aduh!"

"Pelan-pelan lemparnya, dong, Yasmine!" hardik seorang perempuan yang sempat menertawakan Yasmine beberapa saat lalu, Bu Ika. Bahkan, matanya sudah mencuat setengah dan menatap Yasmine dengan begitu tajam. "Sama anak kecil, tuh, yang lembut! Diminta tolong segitu doang, langsung marah!"

"Udah, Mbak. Kita harus banyak maklum sama anak satu itu. Kebanyakan dimanja sama bapaknya, jadi gak punya adab," sahut yang lain.

Untuk ke sekian kali, Yasmine hanya bisa menghela napas panjang untuk menekan sesuatu yang berusaha berontak dari dalam dirinya. Ia memilih melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Kakinya lurus menuju garasi, memutuskan untuk masuk rumah lewat pintu samping supaya tidak berhadapan dengan adik dari mamanya.

Selama dua hari ini, rumah Yasmine memang lebih ramai dari biasanya. Sejumlah sanak saudara berdatangan dan menginap untuk menyambut pernikahan kakak perempuan Yasmine, Elea. Mengingat sebagian besar keperluan pernikahan disiapkan keluarga mempelai laki-laki, jadi keluarga Yasmine sangat santai menjelang hari H. Para saudara yang datang pun hanya bermodal tenaga untuk meramaikan suasana rumah yang biasanya tenang.

"Baru pulang, Nak?"

Begitu menginjakkan kaki di lantai rumah, suara lembut itu yang menyambut kedatangan Yasmine. Setelah sekian lama menunduk, akhirnya kepala gadis itu terangkat juga. Senyum langsung terbit di wajah cantiknya begitu mendapati sang ayah tengah duduk lesehan dan sibuk memotong jengkol.

"Assalamualaikum, Yah." Yasmine pun mendudukkan diri di lantai dan segera mencium punggung tangan ayahnya.

"Waalaikumsalam," sambut Pak Salim-ayah Yasmine. "Eh, sekarang hari Jumat, ya? Pantesan aja kamu pulang sore."

Yasmine mengangguk lesu. "Udah untung bisa pulang jam segini, Yah. Kalau dosen Komunikasi Bisnis masuk, udah pasti aku pulang abis isya."

"Lho, kenapa gak masuk?" tanya Pak Salim seraya kembali menyambung kegiatannya, memotong jengkol.

"Istrinya melahirkan," singkat Yasmine. Lalu, ia pun bangkit dari duduknya. "Aku masuk kamar dulu, ya? Belum salat asar. Mau istirahat sebentar juga, capek."

"Jangan lupa mandi dulu."

"Iya, Yah."

Tidak berbeda jauh dengan suasana di halaman depan, ruang tengah pun sama ramainya. Beberapa mainan berserakan di lantai, suara televisi cukup untuk menembus tembok tetangga, sejumlah sampah makanan kemasan juga memenuhi meja. Itu bukan ulah anak kecil seperti Beny, melainkan sejumlah remaja yang seharusnya bisa membawa diri di rumah orang lain.

Cinta untuk Yasmine [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang