3. Debat Demi Debat

59 10 1
                                    

Yasmine langsung mengalihkan pandangannya dari novel begitu mendengar derit pintu. Wajah terkejutnya luntur perlahan, berganti semringah begitu menyadari yang datang ke kamarnya adalah sang kakak. Pakaian mahal yang Yasmine lihat selepas magrib tadi sudah berganti baju tidur satin sebatas lutut. Wajah lelah Elea juga tampak lebih segar dibandingkan sebelumnya.

"Beli novel baru?" tanya Elea sembari mendudukkan diri di ujung ranjang Yasmine. Ia mencebik begitu melihat judul buku yang sedang dipegang sang adik. "Cinta-cintaan lagi."

"Ini seru tahu, Kak. Aku lagi butuh yang manis-manis," sahut Yasmine, penuh rasa bangga. "Uminya Mas Adam seru juga, ya?"

Dahi Elea lantas berkerut. "Umi Adam?"

"Tadi aku ketemu sama Tante Inayah di Gramedia. Terus tiba-tiba beliau minta gabung sama aku, Nurul, Ibnu. Kita bertiga juga ditraktir es krim juga, lho, Kak."

"Iya, sih, Umi emang asyik banget orangnya. Beda sama Abi Emran yang sangat pengatur," gumam Elea tanpa sadar.

Yasmine terdiam sesaat. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kakaknya memiliki keluhan akan keluarga sang calon kakak ipar. Selama ini, Elea selalu terlihat nyaman saat bersama orang tua Adam. Ia juga pintar mengambil topik sehingga pembicaraannya dengan Umi Inaya dan Abi Emran tidak membosankan. Namun, rupanya ada momen di mana Elea harus berpura-pura di depan mereka.

"Udah nikah nanti pakai hijab, ya. Jangan pakai baju seksi lagi. Batasi pergaulan kamu sama lawan jenis. Harus bisa lebih terbuka juga sama Adam, jangan ambil keputusan sendiri."

Wejangan dari Abi Emran masih terngiang dengan jelas di benak Elea. Ekspresi serius lelaki paruh baya berjenggot tebal itu juga masih sering menari-nari di pelupuk mata Elea. Perasaan, dulu orang tua Adam tidak keberatan dengan gaya hidup Elea. Mengapa menjelang hari H ijab kabul mereka tiba-tiba melayangkan banyak sekali peraturan? Belum lagi dengan posesif Adam yang kian jadi. Elea semakin tertekan.

"Kak?"

Lamunan Elea buyar begitu bahunya diguncang perlahan. Dia melirik Yasmine sembari tersenyum tipis. "Hm?"

"Kakak gak apa-apa?"

Bukannya menjawab, Elea justru membaringkan tubuhnya di samping Yasmine. Pandangannya lurus ke langit-langit kamar. Ingatannya berpusat pada kejadian beberapa jam yang lalu. "Adam nyebelin, Yas. Posesifnya tuh bikin Kakak sesak napas!" adu Elea seketika.

Lidah Yasmine kembali kelu. Bingung harus bereaksi seperti apa atas ucapan kakaknya barusan.

"Kemarin dia minta kakak ngejauhin salah satu hair stylist. Tadi dia minta kakak jaga jarak sama salah satu model. Curiga besok dia minta kakak berhenti kerja," lanjut Elea.

"Mungkin Mas Adam begitu karena takut kehilangan Kakak." Tidak tahu kalimat ini tepat atau tidak, Yasmine hanya menyuarakan apa yang muncul di kepalanya.

"Selama tiga tahun kita pacaran, Kakak gak pernah ada niatan untuk ninggalin Adam. Sekalipun posesifnya itu bikin sesak napas, tapi kakak selalu memilih untuk bertahan. Sebentar lagi kita juga bakalan nikah. Apa lagi yang harus dia takutkan, coba?"

Tanpa sadar, Yasmine menggaruk kepalanya. "Mungkin ... ini cobaan sebelum nikah?" Ia berkata asal lagi. "Kata orang, kalau mau nikah, tuh, godaannya banyak banget. Bisa dari pasangan, keluarga, ekonomi, bisa juga dari orang luar."

"Tapi kalau Adam terus-terusan kasih tekanan berlebihan kayak gini, Kakak jadi ragu buat lanjutin pernikahan ini."

Saat itu juga, Yasmine mendaratkan pukulan keras di bahu kakaknya. Tak peduli mata Elea sudah mencuat setengah karena ulahnya barusan, Yasmine tetap melototi sang kakak dengan penuh keberanian.

Cinta untuk Yasmine [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang