7. Tembok Pembatas

234 15 6
                                    

Yasmine menatap datar notifikasi mobile banking. Beberapa detik yang lalu, sejumlah uang masuk ke rekeningnya. Seperti yang ia duga, kurang dari semenit, pesan dari 'Mas Adam' pun tertera di layar ponsel.

Mas Adam
Uang keperluan dapur sama nafkah kamu sudah aku kirim. Kali ini aku kirim lebih, untuk uang semester.

Embusan napas panjang lolos dari bibir gadis itu. Bukannya senang, Yasmine selalu merasa terbebani setiap kali Adam mengirim uang. Ia merasa telah menyusahkan lelaki itu. Namun, di satu sisi, Yasmine juga tidak punya pilihan selain menerimanya. Karena ia tidak akan bisa melanjutkan hidup jika bukan ditanggung oleh Adam.

"Kenapa, Yas?"

Gadis itu tersentak ketika Ibnu sudah duduk di sampingnya. Laki-laki dengan kemeja flanel biru dan celana jins hitam panjang itu menatap Yasmine dengan penuh kebingungan.

"Enggak apa-apa," dusta Yasmine seraya menyembunyikan ponselnya ke dalam tas. "Kita pulang sekarang, kan?"

Ibnu mengangguk. "Semuanya udah dapat pasangan buat pulang. Kamu pulang sama aku."

"Eh, gak usah. Aku pulang sendiri aja," sergah Yasmine dengan cepat.

"Ini udah malem, Yas. Bahaya kalau kamu pulang sendiri." Ibnu menunjukkan jam tangannya yang menunjukkan pukul 10 malam. "Udah, jangan ngeyel. Aku anterin aja. Biasa juga begitu, kan?"

"Justru karena ini udah malam, Nu. Aku takut ada yang lihat kita berduaan, terus dilaporin ke orang tuanya Mas Adam," bisik Yasmine. Ia sengaja memelankan suara karena takut teman yang lain mendengarkan ucapannya. "Gak apa-apa, kok. Aku naik taksi online aja."

Lelaki itu mengembuskan napas panjang. "Oke, kalau itu mau kamu. Nanti aku temenin kamu sampai dapat taksinya."

Yasmine mengangguk singkat, lalu membereskan alat-alat tulisnya yang masih berserakan di atas meja. Ia baru saja menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Penciptaan Usaha Baru.

Sebenarnya Yasmine sempat tergiur untuk duduk di jok belakangan motor Ibnu. Namun, kesenangannya harus berakhir, berganti dengan perasaan was-was. Yasmine takut orang tua Adam tahu ia pulang malam dengan seorang lelaki. Tidak ada masalah besar selama 4 bulan ini pun sudah cukup membuat Yasmine lelah. Ia tidak sanggup jika harus berhadapan dengan kekacauan besar dalam waktu dekat.

"Susah, kan?" Ibnu melirik layar ponsel Yasmine yang terus saja gagal mendapatkan taksi. "Udah, sih. Pulang bareng aku aja. Yuk?"

"Gak bisa, Nu," balas Yasmine tanpa melirik lelaki itu. Dia terus menatap ponselnya dengan penuh putus asa. "Kamu pulang duluan aja, sana. Mama kamu pasti nungguin, kan? Bentar lagi juga aku pasti dapat taksinya, kok."

"Gak salah kamu nyuruh aku ninggalin kamu sendirian di sini? Di jam segini? Jangan ngaco, Yasmine!"

Tidak ada jawaban. Yasmine terus saja fokus pada ponselnya. Diam-diam, kesempatan itu digunakan Ibnu untuk menatap lekukan wajah Yasmine dari samping.

Tidak banyak yang berubah dalam persahabatan mereka setelah Yasmine resmi menikah dengan Adam 4 bulan lalu. Yasmine hanya menjaga jarak dari Ibnu. Ya, hanya itu, tetapi cukup membuat Ibnu tak bisa berbuat banyak sebagai seorang sahabat. Ibnu juga tidak bisa melewati batas yang didirikan Yasmine karena itu bertujuan untuk menjaga kehormatannya sebagai perempuan bersuami.

Yang paling menyesakkan lagi, dibandingkan lebih bahagia, Yasmine justru terlihat banyak murung setelah menjadi istri Adam-lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya. Selama ini, Yasmine selalu berkata bahwa Adam adalah suami yang baik. Ibnu hanya bisa diam meskipun tahu itu adalah sebuah dusta.

Perhatian Ibnu teralihkan pada ponselnya yang baru saja berdenting. Pesan dari mamanya. Beliau meminta Ibnu pulang cepat dan membelikan obat batuk lebih dahulu.

Cinta untuk Yasmine [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang