6. Satu Atap

63 12 2
                                    

Di sisa tenaga yang dimilikinya, Yasmine segera menarik koper begitu lift sudah sampai di lantai 10. Kedua tangan dan kakinya terasa akan lepas, tetapi gadis itu tidak ada waktu untuk mengeluh. Apalagi melihat Adam sudah berjalan lebih dahulu, tanpa menoleh sedikit pun, sudah cukup menjadi pertanda bahwa kesusahan ini harus Yasmine pikul sendirian.

Setelah melangkah beberapa meter, Adam pun berhenti di salah satu pintu, unit 103. Dia berbalik sekilas, hanya untuk memastikan Yasmine sedang memperhatikannya. "Pinnya 0105," ucapnya seraya memencet nomor yang disebutkan.

Yasmine hanya mengangguk paham, kemudian ikut masuk begitu pintu terbuka. Yasmine tahu, ini bukan saatnya untuk terpana akan kemewahan duniawi. Namun, matanya tetap terbelalak begitu interior apartemen milik Adam. Semua barang memang terkesan sederhana dan tidak memiliki corak mencolok. Warna putih mendominasi setiap ruangan. Hanya dengan sekali melirik saja, Yasmine bisa tahu semua barang tidak bisa dibeli dengan isi dompetnya.

"Di kulkas sudah ada bahan masakan dan aneka camilan. Ini kamar mandi. Dan ini kamar kamu." Adam menunjuk satu per satu bagian apartemen dengan cepat, terkesan malas. "Kamu boleh melakukan apa pun, asal jangan menimbulkan suara kencang. Aku juga gak menerima hambatan apa pun saat harus berangkat kerja. Tidak boleh ada orang asing yang masuk tanpa izin dariku. Paham?"

Dengan cepat, Yasmine pun mengangguk. "Pa-paham, Mas," ujarnya dengan terbata.

"Ya sudah, bereskan dulu barang bawaan kamu ke kamar. Jika sudah selesai, tunggu aku di sofa depan. Ada yang harus kita bahas."

Tanpa menunggu jawaban lagi, Adam pun berlalu meninggalkan Yasmine begitu saja. Entah sengaja atau terlalu lepas memberikan tenaga, suara pintu kamar yang ditutupnya membuat Yasmine terpekik di tempat.

Dengan langkah gontai, Yasmine pun mendekati pintu yang tadi ditunjuk Adam sebagai kamarnya. Dia melirik ke arah kanan, di mana sosok Adam menghilang. "Jadi, kita bakal pisah kamar, ya, Mas?" gumamnya, tanpa sadar.

Setelah mengembuskan napas kasar, Yasmine pun masuk ke kamar itu. Tidak ada yang istimewa di sana. Hanya ada kasur queen size, lemari putih, juga meja rias kosong. Yang membuat Yasmine berkeyakinan akan betah tidur di sana adalah jendela di samping ranjang. Setidaknya, ia bisa menghirup udara bebas saat napasnya mulai terasa berat karena kenyataan.

Seperti yang Adam minta, Yasmine segera kembali ke ruang tengah begitu semua barang bawaannya selesai dirapikan. Dia duduk di ujung sofa panjang, berjauhan dengan Adam yang duduk termangu di sofa tunggal.

"Mas?" panggil Yasmine setelah beberapa saat terduduk. Bukannya Yasmine tidak sabar mendengar apa yang ingin Adam bicarakan. Namun, lelaki itu tak kunjung bergerak walaupun Yasmine sudah ada di sana selama satu menit. "Mas Adam?"

"Ya?" sahut Adam setelah mendengar ketukan lumayan nyaring di kaca meja. Dia langsung menetapkan tubuhnya begitu menyadari kehadiran Yasmine. Setelah menarik napas dalam-dalam, Adam pun memberikan sejumlah barang pada Yasmine. "Ini ATM buat kamu. Aku akan kirim nafkah tiap tanggal satu. Ini kartu keanggotaan White Apartemen. Kamu harus tunjukkan kartu ini ke penjaga di depan. Tapi kalau mereka sudah familiar sama wajah kamu, itu gak perlu dilakukan."

"Iya, Mas."

"Di depan orang tua dan anggota keluarga yang lain, kita harus bersikap seperti suami istri yang saling mencintai. Tapi jangan berlebihan, itu akan bikin semua orang jadi curiga."

"Maksudnya kita harus bohongi keluarga kita? Tapi, bohong itu dosa, Mas."

Adam membenamkan matanya untuk beberapa saat, berusaha menyusun kalimat yang tepat supaya pembicaraan ini bisa masuk ke kepala Yasmine. "Ada kebohongan yang bisa diterima, yaitu kebohongan yang ditujukan untuk kebaikan. Pura-pura kita juga begitu, demi kebaikan semua orang. Kalau kita terlihat baik-baik saja dan saling mencintai, para orang tua pasti senang. Iya, kan?"

Cinta untuk Yasmine [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang