15

59.2K 886 67
                                    



Bianca menjadi pendiam setelah kejadian Devan memaksanya berhubungan intim. Kejadian itu sudah 2 minggu berlalu.

Kini hari pertama masuk sekolah kembali, wajah Bianca pucat, yang biasanya memakai make up kini dibiarkan saja. Bahkan sampai rambutnya tidak ia catok atau semacamnya.

Bianca memilih tempat duduk paling pojok belakang. Kedua temannya sedari tadi menanyakan kenapa ia diam saja bagaikan mayat hidup.

"Bi, bibir lo pucet banget. Biasanya paling gak bisa kalau nggak pake liptint," celetuk Maudy.

"Lo juga tumben gak pake make up, Bi," seru Hanni juga.

"Lo sakit apa gimana? Waktu liburan juga banyak diemnya. Sejak lo izin ke kamar duluan," ucap Maudy.

"Sumpah, Bi. Lo nggak kaya Bianca yang kita kenal." Hanni kesal akan kediaman Bianca yang terus menerus.

Maudy memegang lengan Hanni, menyuruhnya diam untuk tidak membuat Bianca kesal. "Kalau lo siap mau cerita kita dengerin kok, Bi." Lalu menghela nafasnya.

Maudy memberikan kode lewat mata pada Hanni untuk beranjak pergi. Sepertinya Bianca butuh waktu sendiri saat ini.

***

"Bi? Lo nggak mau ke rumah sakit?" tanya Sarga.

Lelaki itu berkunjung ke rumah Bianca saat mengetahui dari Maudy bahwa Bianca sedang sakit dan pikir Maudy, Bianca membutuhkan Sarga.

Bianca menggeleng pelan. Kedua matanya terpejam sedang rebahan di sofa ruang keluarganya.

Sarga menghembuskan nafas. "Lo jadi pendiem banget sejak gue tinggalin berdua sama Kak Sarah. Bukan salah lo Bi. Kak Sarah kepleset sendiri, jadi stop salahin diri lo sendiri."

Bianca masih enggan membuka mulutnya. Diam bagaikan patung. Padahal Sarga tahu perempuan itu tidak tidur, bisa dilihat dari kelopak matanya yang bergerak-gerak.

"Bi...ayolah...walaupun lo nggak balas perasaan gue, tapi gue gelisah tau liat lo begini. Ada yang nyakitin lo pas di Labuan Bajo, karena lo berubah sejak malam di sana."

Untung saja Bianca bisa mengontrol ekspresi wajahnya, sebab apa yang dikatakan Sarga benar adanya.

Bukannya menikmati liburannya, Bianca justru menyesal ikut bersama temannya. Terutama menyesal menyiyakan Sarga untuk ikut.

Kalau saja Sarga tidak ada mungkin istri Devan tidak ke kamarnya begitulun dengan Devan yang memperkosanya malam itu.

Malam itu menjadi malam yang kelam dan mungkin trauma bagi Bianca. Kenikmatan yang diberikan Sarga bercampur kebencian terdalam pada pria itu.

Sarga menyerah. Lelaki itu memilih diam juga.

Kebetulan kedua orang tua Bianca sedang pergi keluar kota, menyisakan Bianca seorang diri di rumahnya dengan pembantunya.

Sarga memilih tidak pergi. Menemani Bianca, takut terjadi apa-apa jika ia tinggalkan.

Bianca membuka matanya dan langsung menadapati pemandangan Sarga sedang menyenderkan tubuhnya di sofa dengan kedua mata terpejam.

"Kakak lo...udah berapa lama nikahnya?"

Kedua mata Sarga sontak terbuka saat mendengwr suara pelan dari Bianca.

Alisnya berkerut. Tiba-tiba Bianca menanyakan perihal Devan. "3 tahunan."

"Kenapa?" tanya Sarga.

Bianca menggeleng. "Tapi kenapa lo nggak mirip sama kakak lo?"

"Kita saudara tiri."

Pantas saja mereka tidak ada miripnya. Makanya saat Sarga mengenalkan Devan sebagai kakanya, Bianca kaget.

"Gue sama dia beda nyokap tapi satu bapak. Ibu kandung Kak Devan pisah sama Ayahnya, terus nikah sama Ibu gue," jelas Sarga.

"Untungnya—" Sarga memberhentikan ucapannya saat melihat Bianca bangkit lalu berlari menuju kamar mandi.

Segera Sarga menyusulnya.

"Huek..."

Bianca membungkuk di wastafel. Perutnya seperti di putar-putar.

"Seharusnya tadi gue langsung bawa lo ke rumah sakit." Sarga di belakang Bianca, memijat leher belakangnya.

Bianca kembali muntah, namun hanya air yang keluar itupun sedikit. Setelahnya berkali kali ia mual, tidak ada yang keluar apapun.

"P-pusing..."

Detik berikutnya Bianca pingsan. Untungnya Sarga cepat menangkaj tubuhnya. Sarga panik, langsung menggendong Bianca ke mobilnya untuk menuju rumah sakit.

***

Mata Sarga tidak berhenti menatap Bianca yang masih belum siuman. Kedua matanya semakin tajam. Pikirannya berkecamuk setelah mendengar apa yang dokter katakan mengenai kondisi Bianca.

Kedua tangannya mengepal. Ia membuang nafas kasar. Ingin rasanya memukuli orang.

"H-haus..."

Rupanya Bianca sudah bangun. Sarga beranjak mengambil air. Membantu Bianca bangun dan memberikan minumannya.

Bianca melirik Sarga yang memperhatikannya intens saat dirinya sedang minum. "Kenapa?" tanya Bianca dengan suara serak.

Tidak ada jawaban dari Sarga. Lelaki itu hanya menggeleng singkat dan berlalu. Membelakangi Bianca, menghadap ke jendela.

"Tadi dokter bilang apa? Kenapa gue bisa mual terus pingsan? Padahal gue udah makan," tanya Bianca parau.

"Ternyata ini alasan lo nggak balas perasaan gue, Bi?" ucap Sarga tanpa membalikan badannya.

Bianca bingung. "Kenapa lo tanya itu?"

Sarga terkekeh pelan. "Kenapa lo ngelakuin hal itu, Bi?"

Entah kenapa jantung Bianca berdegup semakin cepat. "Maksudnya?"

"Lo hamil."

"Hah?" Tiba-tiba otak Bianca blank.

Sarga membalikan tubuhnya. Bianca kaget saat melihat kedua mata Sarga memerah menahan amarah dan menatapnya penuh kecewa.

"Di perut lo ada janin, Bianca. Sebut siapa yang berani ngehamilin lo?"

***

Nanti malem update lagi. Jangan lupa ramein xoxo.

Hot TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang