7

142K 1.4K 24
                                    



Bianca akhirnya selamat sampai rumahnya. Sialan. Untung ia langsung menendang aset Sarga dengan high heelsnya.

Kalau tidak mungkin Bianca sudah berakhir telanjang di sana. Sarga sudah hampir menurunkan kedua branya, pada saat itu juga Bianca langsung menendang Sarga.

Tidak dipungkiri dirinya merasa kotor dilecehkan. Walaupun Bianca bukan gadis baik-baik, tetap saja ia tidak mau disentuh orang sembarangan.

Terkecuali Devan.

Kalau dipikir, Devan sedang apa saat ini? Bianca langsung menggelengkan kepalanya, menghalau ingatan tentang Devan.

Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Tidak ingin merusak kebahagian keluarganya.

Sepertinya, Bianca menyerah untuk memperbaiki nilainya. Ia memilih mundur, dari pada berurusan lebih lanjut dengan Devan.

***

Unknown: Hi, gue Sarga. Sorry, buat yang semalem, gue rada mabok. Btw, gelang lo ketinggalan nih.

Bianca menyerengit saat melihat pesan tersebut.

"Rada mabok? Gila ya nih cowok, jelas-jelas dia sadar total," decaknya.

Ponsel Bianca kembali bunyi.

Unknown: Mau meet up? Sekalian gue balikin gelang lo.

Bianca memutar matanya.

Bianca: Sorry, no thanks. Gelangnya buat lo aja atau bisa dibuang.

Mata Bianca membelak kaget saat melihat balasan Sarga.

Unknown:

"What the hell?!" pekik Bianca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"What the hell?!" pekik Bianca. Terkejut melihat foto yang dikirim Sarga.

"Ah, jadi ini alasan kamu menghindari saya?"

Masih terkejut dengan foto yang dikirimkan Sarga, Bianca kembali memekik kaget saat seseorang berbicara dekat dengan telinganya.

"Pak Devan?!" pekik Bianca kaget luar biasa, menoleh kebelakang.

Devan menatap Bianca dengan raut datarnya. "Saya tidak menyangka kamu semurah itu, Bianca."

"H-hah?" Bianca bingung sekaligus emosi tidak mengerti apa yang sedang dibahas Devan.

Sejak kapan pria itu sudah kembali di kampus?! Bukankah Devan cuti?!

"Memangnya apa yang saya harapkan pada siswa yang rela menjual kesuciannya demi nilai?" Devan tekekeh miris. "Saya memang salah menilai kamu."

Bianca membeo tidak terima dengan perkataan pria tersebut. "M-maksud Pak Devan?! Jaga omongan bapak ya!"

Suara Bianca terdengar besar dan membentak. Untungnya sedang berada di taman yang jarang di kunjungi para siswa.

"Kamu yang jaga omongan. Tidak sopan membentak guru," ucap datar Devan.

"Bapak duluan yang jaga omongan! Pak Devan tiba-tiba datang langsung mengatai saya murahan dan menjual kesucian saya!"

Persetanan dengan sopan santun, Bianca sudah emosi sampai berdiri di hadapan Devan.

"Kenapa? Kamu tidak terima? Itu semua fakta, bukan?"

"Pak! Pak Devan kenapa sih?! Saya punya salah?! Saya memang salah mendekati bapak dan meminta hal yang seharusnya tidak dilakukan antaran guru dan siswanya! Seenaknya Pak Devan mengatai saya murahan! Brengsek!"

"Bianca!" bentak Devan. "Jaga mulut kamu!" Devan mencengkram rahang Bianca.

Bianca meringis sakit saat mencoba melepaskan cengkraman Devan.

Pria itu menariknya semakin mendekat, hingga tubuh mereka tidak berjarak.

Bianca mencoba mendorong dada Devan. Memekik kaget saat tangan Devan yang tadinya mencengkram rahangnya berpindah ke dada Bianca dan meremasnya di sana.

"Akh! Bajingan!" Bianca berhasil menjauhkan tubuhnya mundur beberapa langkah.

"Bajingan sialan! Brengsek!" maki Bianca pada Devan yang hanya menatapnya datar dan tajam.

Kedua tangan Devan dimasukan ke dalam saku menatap Bianca yang menatapnya dengan emosi tertahan.

"Walaupun kita pernah tidur bareng, Pak Devan nggak berhak sentuh saya seenaknya!"

Sevan menyeringai. "Bukannya kamu suka disentuh-sentuh oleh lelaki?"

"Pak! Stop merendahkan saya!" Emosi Bianca sudah di ubun-ubun.

"Kamu memang pantas di rendahkan. Karna tingkah kamu saja seperti wanita rendahan yang tidak cukup oleh satu pria saja."

"Saya cuman tidur sama bapak! Pak Devan lihat sendiri darah saya waktu itu!" Entah kenapa Bianca menjadi malu mendengar ucapannya sendiri.

Alis Devan terangkat satu. "Lalu? Siapa tahu kamu sehabis itu menyerahkan diri kepada lelaki lain juga, seperti kamu memandang foto telanjang lelaki itu." Mata Devan menunjuk ke arah layar ponsel Bianca yang masih menyala dan memperlihatkan foto tubuh Sarga.

Bianca menggeleng tidak percaya. "Gelar Pak Devan itu cuman formalitas ya? Bapak bilang tadi saya tidak sopan. Pak Devan lebih tidak sopan mengintip ponsel saya terlebih menuduh saya yang jelas tidak ada bukti yang menunjukan saya MURAHAN seperti yang Pak Devan bilang." Dengan menekan kata murahan, mata Bianca sudah memandang benci pada pria itu.

"Bilang saja kalau Pak Devan itu cemburu!" decak Bianca.

Devan melongos. "Saya cemburu sama kamu? Untuk apa? Saya sudah punya pasangan, mungkin kamu sudah dengar bukan rumor itu?"

Bianca terdiam.

"Saya dan kamu hanya sebatas patner saja. Kamu butuh nilai bagus saya butuh tubuh kamu."

Bianca tidak menjawab.

"Ingat, kamu yang mengawali semua ini. Kamu menggoda saya dan menawarkan hal tersebut. Saya pria normal dan tubuh kamu membuat saya bergairah. Tapi saya tidak menyangka kamu semurah itu, Bianca. Setelah ini rahasia antara kita kamu kubur dalam-dalam. Jujur saya menyesali perbuatan saya, apalagi istri saya sedang hamil."

Ucapan terakhir Devan entah kenapa menyentil hati Bianca. Ia merasa begitu hina di mata pria itu. Walau sebenarnya fakta, namun ia tidak bermain dengan lelaki lain selain Devan.

Semua yang keluar dari mulut Devan, menghancurkan harga dirinya.

Setelah kepergian Devan, badan Bianca lemas lalu air mata yang sedari tadi ia tahan keluar juga.

Ia manusia yang masih mempunyai perasaan. Bagaimana bisa Devan menghinanya terus menerus bagaikan wanita malam yang sering tidur dengan lelaki lain.

Bianca merasa kepalanya dihelus, ia mendongak, mendapati Sarga tersenyum tipis di sebelahnya. Entah bagaimana lelaki itu bisa di hadapannya.

Tangis Bianca semakin deras saat Sarga membawa Bianca ke dalam pelukannya.

***

I'm back! vote dan komennya jangan lupa yuk

Hot TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang