1

13.4K 250 2
                                    

Felicia menatap papa dan mamanya bergantian, sebelum mendesah panjang layaknya ia memiliki beban berat saat ini. Bagaimana tidak, papanya mengatakan akan menjodohkannya dengan salah satu putra sahabatnya. Yang sudah lama sekali tidak pernah ia temui lantaran sahabatnya itu tinggal jauh dari tempat tinggal mereka saat ini.

"Pa, serius aja dong. Masa iya-"

"Fel, kamu tahu nggak kalau anak Om Bram itu cakep."

Felicia melirik mamanya yang menyeletuk cepat.

"Ya, tapi, kan-"

"Mending kamu cari tahu dulu. Gimana?"

Gantian papanya yang memotong ucapannya. Membuat wajah Felicia kian keruh. Dia semakin menatap sebal papanya itu.

"Mama sama papa bisa nggak sih, dengerin Feli dulu?"

Dengan serempak kedua orangtuanya pun mengangguk, membuat Felicia pun mendesis kesal. Terutama saat menemukan wajah kedua orangtuanya yang terlihat tak bersalah itu.

"Apa? Kamu mau bilang apa?"

"Sekarang itu bukan lagi jaman di jodoh-jodohin tahu, Pa! Feli itu bisa-"

"Cari pasangan sendiri?" Sahut papanya terlampau santai. "Kalau emang bisa cari pasangan sendiri, kenapa dari dulu kamu jomblo?"

"Boro-boro calon ya, Pa? Gebetan aja nggak ada." Sahut mama Feli. Semakin menambah daftar kekesalan Feli. Dia Benar-benar terlihat murka saat ini.

Umurnya memang sudah mendekati dua puluh tujuh, tapi bukan berarti dia akan menikah dengan jalur perjodohan, kan? No! Feli masih cukup cantik untuk mencari calon suami. Selian cukup cantik, dia juga masih cukup mampu. Selama ini dia jomblo itu karna dia sibuk dengan segudang aktifitasnya yang membuat dia lupa akan urusan asmara. Tapi bukan berarti tidak ada yang mendekatinya juga yang menawarkan diri untuk menjadi pasangannya.

Belum lagi statusnya yang seorang dokter bedah. Membuat ia menjadi wanita yang super sibuk. Begitulah yang sering ia dengar dari kedua orangtuanya. Tapi juga membuat banyak para pria yang antri ingin jadi pasangannya.

"Papa sama Mama kan takut, Fel. Kamu udah umur segini tapi belum ada gambaran mau nikah. Jangankan nikah, kamu punya gebetan juga enggak. Padahal teman dokter kamu tu banyak yang ganteng-ganteng. Tapi kamunya cuek aja." Omel mamanya kian menjadi-jadi. Wanita cantik yang biasanya terlihat sabar dan anggun itu mendadak terlihat menyeramkan di mata Felicia.

"Ma, nikah itu-"

"Mau sampai kapan sih, kamu bakal sibuk sama karier kamu itu? Belum mau nikah dan gitu-gitu aja? Mama sama papa itu nggak akan bisa nemenin kamu terus. Dan kalau nggak sekarang kamu mikirin nikah. Mumpung orangtua lagi pada sehat. Kapan lagi? Nunggu orangtua pda mati dulu?"

"Hus! Mama ngomong apa, sih?!" Felicia tampak sewot saat mamanya itu malah membahas perihat umur.

"Lagian kamu itu, loh! Kalau ditanya kapan mau nikah bawaannya sensi banget. Lagi mikir ini, lah. Lagi sibuk ini, lah. Sampai umur segini kok kerja terus. Perempuan itu kalau bisa cita-citanya jadi istri yang baik untuk suami dan ibu yang hebat untuk anak-anaknya. Kamu kerja begitu terus juga nggak bisa buat hidup kamu seneng di masa tua. Terutama kalau gagal dalam rumah tangga dan mengurus anak-anaknya."

"Perempuan pinter itu memang harus! Tapi nggak sampai melupakan kodratnya untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik juga dong. Yang bisa menjadi guru anak-anaknya dan menjadi support system suaminya." Tambah mamanya tak ingin di debat. Benar-bear terlihat kian menyeramkan.

Felicia hanya bisa memijit pelipisnya yang terasa nyut-nyutan mendengar ceramah dadakan mamanya. Yang demi Tuhan, lebih baik ia melakukan operasi berjam-jam di ruang operasi ketimbang mendengar ceramah mamaya yang super duper berlebihan itu.

"Pokoknya mama nggak mau tahu, ya, Fel! Tahun ini kamu harus nikah."

Felicia mendelik. "Ma."

"Mau jalur perjodohan atau cari sendiri terserah. Yang penting kamu tahun ini harus nikah atau paling enggak ada bau-bau pelaminan yang jelas."

Kedua mata Felicia kian melebar saat dengan santai mamanya bangkit, beranjak dan berlalu tanpa peduli dengan responnya. Menoleh ke arah papanya yang sedari tadi diam. Felicia baru saja akan mengeluarkan suaranya tapi terhenti begitu papanya balik menatapnya menyerah.

"Papa nggak ikut-ikutan kalau ini."

"Paaa..." Rengek Felicia. Memasang tampang memelas yang sayangnya sama sekali tak membuat papanya terpengaruh. Yang ada papanya malah menatapnya santai. Seakan-akan apa yang Felicia lakukan saat ini tak lagi mampu meluluhkan hati papanya itu.

"Udah terima aja tawaran papa ini. Anak Om Bram baik. Cakep juga."

"Tapi, kan, Feli nggak kenal, Pa."

"Ya kenalan dong, Cantik. Gimana sih?"

"Gimana kalau nggak cocok?"

"Belum di coba, kan?" Jawaban santai papanya kian membuat Feli kesal. Ini papanya nggak ada kasian-kasiannya apa sama anak gadisnya? Udah tahu Felinya belum pengen nikah.

Feli mendesis, tak urung dia pada akhirnya ia pun tetap mengangguk. "Ya udah deh."

"Apa?" Pertanyaan itu berhasil membuat Felicia menatap papany sebal.

"Ya udah, iya."

"Mau di jodohin sama anaknya Om Bram."

"Iya." Jawab Feli setengah hati. Yang seketika membuat senyum papanya terbit dengan lebarnya. "Tapi anak Om Bram itu kerja di mana?"

"Hartama Corp. Cek aja. Dia di sana punya jabatan bagus kok. Paling cakep juga orangnya." Felicia langsung meraih ponselnya untuk berselacar. Mencoba mencari nama perusahaan yang papanya sebutkan itu. "Namanya Aryanda. Aryanda Ervin Artama."

Felicia yang sibuk dengan ponselnya pun hanya mengangguk sekenanya. Tidak benar-benar mendengar papanya dengan baik. Karna kini ia sibuk dengan ponselnya dengan sederet pesan yang ia terima dari salah satu rekannya untuk membahas perihal operasi yang akan mereka lakukan malam ini.

Merasa tepukan di pundaknya, Felicia pun mendongak. "Jangan lupa. Minggu depan mereka ke sini."

"Ngapain?"

"Loh, lamaran, kan?"

Kedua mata Felicia terbelalak lebar. Mulutnya bahkan sudah terbuka hendak menyela.

"Jangan menolak niat baik orang. Nggak bagus."

"Pa, tapi, kan-"

"MA, FELI UDAH SETUJU. MINGGU DEPAN MAU LAMARAN."

Felicia hanya bisa melotot mendengar seruan penuh semangat papanya. Kian melebarkan matanya saat papanya bahkan tak mendengar ucapannya. Papanya itu bahkan langsung berlalu dari hadapannya tanpa mau mendengarkan ucapannya. Sedang mamanya yang sejak tadi berada di kamarnya langsung keluar dan berjalan tergesa-gesa.

"Beneran?" Pekik mamanya tak kalah semangat.

"Tuh, tanya aja kalau nggak percaya."

Felicia hanya bisa mendesah putus asa. Pun saat mamanya menghampirinya dan memberondong banyak pertanyaan yang seketika membuat kepalanya kian nyut-nyutan. Dalam hati berjanji, jika dia akan mencari tahu calon suaminya itu dan bagaimana sifatnya. Jangan salahkan dia juga jika minggu depan dia tidak akan datang jika pria itu tak masuk kriterianya.

Hanya Tentang Waktu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang