13

3.2K 113 0
                                    

"Sejak kecil dia tidak memiliki siapa pun. Dia besar seorang diri karna papa sibuk dengan urusan papa. Papa bahkan mengirimnya jauh. Yang dulu papa pikir, agar bisa membuatnya mandiri dan dewasa. Karna mamanya, sejak hari perpisahan kami. Tidak lagi menunjukkan dirinya. Segalanya menjadi asing saat papa membawa orang lain ke kehidupan kami. Papa tahu dia marah, apalagi saat mendengar kematian ibunya yang dianggap papalah penyebabnya. Hari itu, seharusnya papa tidak pernah mengirimnya jauh."

Ucapan mertuanya terus mengusik Felicia, hingga dia tiba di rumah pun, dia masih memikirkan segala ucapan mertuanya itu. Segalanya terasa mengganggu. Benar-benar mengganggu hingga dia kesulitan menghilangkan bayangan seorang pria kecil-yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Malah hidup sendirian.

Tidak ada siapa pun. Bahkan ketika pria itu sakit, terluka, tidak akan ada yang tahu dan peduli. Tidak akan ada yang mengobati dan menemani. Dan selama kehidupannya itu, dia pasti merasa kesepian sekali, sakit sekali. Juga marah sekali.

Felicia menghembuskan nafas kasar, pikirannya kian berantakan. Meletakkan begitu saja tasnya di atas ranjang. Felicia menghempaskan tubuhnya. Duduk di pinggir ranjang dengan kedua tangan memegang pelipisnya.

Mendengar cerita ayah mertuanya. Mendadak segala rasa benci dalam hatinya pada pria itu sirna. Hilang terbang entah ke mana. Dan terganti menjadi rasa simpati yang tinggi.

Ada berapa banyak luka yang pria itu lewati selama ini? Membuat pria itu menjadi pria kejam tak berperasaan.

Bahkan dari semua prilaku pria itu, yang benar-benar tak memiliki hati. Membuat Felicia kian merasa kasihan.

"Bu Felicia?"

"Ya?" Felicia menoleh, menemukan Bu Erna berdiri di tengah pintu.

"Kenapa?"

"Apa anda ingin menyiapkan makan malam sekarang?"

Felicia sempat melirik jam dinding sebelum kembali menoleh ke arah Bu Erna. Pukul setengah tujuh. Dan tidak lama lagi pria itu pasti akan kembali dari kantor.

"Saya akan membersihkan diri dulu, Bu Erna."

"Kalau begitu saya akan menunggu di bawah."

Felicia mengangguk dan tersenyum. Perhatiannya masih tertuju pada Bu Erna hingga kini wanita tua itu tak terlihat lagi. Menghilang dan menyisahkan keheningan.

***

Di tempat lain. Seorang pria tengah sibuk dengan semua berkasnya. Sibuk dengan tumpukan berkas hingga mengabaikan jika hari sudah beranjak gelap. Matahari bahkan telah tenggelam dan digantingan rembulan malam. Sampai ketukan pintu berhasil menarik perhatiannya.

"Permisi, Pak."

"Ya, kenapa?"

"Sudah jam sembilan malam, Pak."

Ervin melirik jam yang berada di ruangan itu, ah benar. Sudah pukul sembilan malam. Karna terlalu fokus dengan pekerjaannya, dia sampai tidak sadar jika jam bahkan sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kamu boleh pulang." Serunya sebelum kembali menunduk.

"Bapak belum mau pulang?"

"Sebentar lagi." Ucapan itu cukup mampu membuat sekretarisnya tak lagi melemparkan pertanyaan. Memilih pamit sebelum menutup pintu. Membiarkan Ervin kembali fokus pada tumpukan dokumen di depannya.

Namun getaran ponsel yang ia letakkan di samping lengannya menarik perhatiannya.

+62813xxxxxx

Aku sudah masak makan malam.

Hanya Tentang Waktu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang