"Saya berniat untuk menjadikan putri bapak sebagai istri saya."
Mobil Avanza putih keluar dari halaman sebuah pesantren yang cukup luas. Pesantren Darussalam adalah pesantren yang cukup dikenal selain Pesantren Riyadhul Jannah yang telah menjadi pilihan nomor satu orang tua untuk memasukkan anaknya.
Di dalam mobil Avanza itu terdapat satu keluarga yang sangat harmonis dan mengeluarkan aura-aura calon penghuni surga. Ayah yang menyetir mobil, ibu yang duduk di kursi samping kemudi, lalu dua orang putra yang sedang bergurau di kursi tengah.
"Cie, yang udah mau nikah, cie."
Sang adik, yang tidak lain adalah Muhammad Al-Khalifi Zikri memberikan tatapan menyebalkan untuk menggoda kakak laki-lakinya yang baru saja mengkhitbah putri dari sahabat ayahnya.
"Muka kamu pengen Abang tabok," ucap Muhammad Rifky Zaky kepada adiknya.
"Enggak boleh begitu Abang." Ibu mereka –yang biasa dipanggil umi– memberi larangan, takutnya kalau mereka berdua benar-benar tabok-tabokkan di sini.
"Iya Umi, Zaky cuma bercanda aja kok." Karena tidak mungkin ia memukul adiknya sendiri, kehadiran Zikri adalah perihal yang selalu ia nantikan, walau ia menginginkan adik perempuan bukan berarti kelahiran Zikri tidak diinginkan.
Umi mereka, Ainihayati Hasyimah hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan senyuman tipis di bibirnya, merasa senang anak-anaknya selalu akur walau kadang juga berdebat namun mereka saling melindungi.
"Lagian Abang juga, katanya ta'aruf sampai di sana malah dikhitbah, siapa juga yang enggak kaget." Zikri tidak habis pikir dengan abangnya, abangnya sangat berani untuk mengambil keputusan dengan cepat, ia sangat terkesan.
"Iya Ky, Abi kaget sama keputusan kamu yang dadakan, kamu beneran yakin?" tanya ayah mereka –yang biasa dipanggil abi– kepada anak sulungnya.
"Insyaallah Bi, Zaky percaya sama pilihan Abi Umi," jawab Zaky dengan cukup mantap menyakinkan ayahnya, lagipula ia sudah berusia 27 tahun sekarang.
Zikri hanya mendengarkan ketiga orang dewasa itu berbicara, ia tidak mau memikirkannya terlalu jauh lagipula pernikahan ataupun cinta belum menjadi prioritasnya saat ini, ada yang jauh lebih lebih penting daripada hal itu.
Jalanan tampak gelap dan lembap sehabis hujan, tidak banyak kendaraan yang melintasi jalan tersebut, mungkin karena waktu sudah cukup malam disertai cuaca yang dingin.
Kepala Zikri bersandar pada kaca mobil yang dingin dan dihiasi tetesan air hujan, ia jatuh pada pikirannya sendiri. Besok adalah hari yang sangat ia tunggu, ia akan berkontribusi dalam perlombaan membaca Al-qur'an untuk kesekian kalinya, harapannya ia dapat menjadi hafidz terbaik dan membanggakan abi, umi dan kakak laki-lakinya.
Tenggelam dalam diam Zikri tiba-tiba disadarkan oleh hal janggal yang ia lihat samar-samar di spion mobil, untuk memastikan Zikri menoleh ke belakang mencoba melihat kondisi di belakang mobil mereka.
Ada yang enggak beres, kalau dilihat motor-motor itu ngikutin kita terus, jangan-jangan ada apa-apa.
"Zikri, kenapa kamu toleh-toleh begitu?" Pertanyaan itu sontak membuat Zikri diam, menatap ke arah Zaky.
"Enggak ada Bang, itu ... Abang bawa hp?" tanya Zikri saat ia ingat jika Zaky sudah abi dan umi izinkan untuk menggunakan ponsel lebih sering.
Zaky merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. "Ada, kenapa? Kamu mau main hp? Boleh kok, mumpung lagi enggak di pesantren."
Mendengar tawaran itu Zikri menggelengkan kepalanya. "Enggak Bang, enggak usah, tapi hp-nya diaktifin ya buat jaga-jaga," ujar Zikri merasa bahwa mereka perlu ponsel itu jadi ponsel itu harus dalam keadaan siap pakai saat akan digunakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZEFRANO
Teen FictionMuhammad Al-Khalifi Zikri terkejut bukan main saat ia tiba-tiba terbangun di tengah-tengah tawuran dalam keadaan yang cukup parah, padahal terakhir kali dalam ingatannya ia sedang mengantar kakak laki-lakinya ta'aruf bersama kedua orang tua mereka. ...