Genangan air itu diinjak oleh seorang bocah yang tengah berlarian di sekitar taman, membuat kesadaran anak laki-laki yang sedang duduk di salah satu bangku taman langsung tersadar dari lamunannya. Dia melirik ke kanan, melihat sebuah kardus yang dibawanya terletak di sampingnya.
Anak laki-laki itu menghela napas, sebelum dia berdiri dari duduknya, kemudian mengangkat kardus tersebut dan berjalan menuju ke satu bangunan yang sedikit usang di belakang sebuah apartemen besar.
Tidak ada yang kekal untuknya sekarang, mungkin sebentar lagi kardus yang dipegangnya akan menghilang juga.
Anak itu membuka pintu ruangan, melihat ruangan berantakan yang begitu sepi tanpa penghuni. Padahal, kamar-kamar lain tampak ramai, entah karena suara keluarga lain dengan tawa, entah karena keluarga dengan amarah, entah karena anak-anak yang terbebas arah, atau entah karena anak SMA yang bermain-main dengan perkumpulannya di salah satu kamar.
Sayangnya, hanya kamar dialah yang tanpa suara, dan beberapa kamar yang memang masih kosong-melompong.
Anak laki-laki itu meletakkan kardus yang dipenuhi kain-kain bekas ke atas meja kecil di samping tempat tidur. Dia terduduk di atas lantai, menatap puntung rokok yang sudah terkumpul tepat di belakang pintu kamar. Kedua tangannya bergerak untuk mengacak-acak rambutnya, frustrasi.
Sebab yang dia lakukan sendiri, tidak memiliki arti sama sekali.
* * *
Hari ini cuaca sangat cerah, berbeda dengan kemarin. Tidak ada jalanan yang dipenuhi genangan air, tidak ada juga tempat duduk yang basah sehingga membuat orang-orang kesulitan untuk duduk di sekitar taman. Namun, tujuannya sekarang bukanlah taman.
Anak laki-laki itu berjalan lurus, menuju sebuah tempat yang jarang dikunjungi orang-orang. Sekarang sore hari, setelah banyak aktivitas yang telah ia lakukan selain sekolah.
Hingga dia sampai di depan kawasan yang dikelilingi pagar, dan pagar itu tidak terlalu tinggi untuk dilewati oleh anak Sekolah Dasar, membuat orang-orang jarang berkunjung karena membahayakan anak-anaknya. Dia berjalan sampai di depan pagar, menunduk, melihat sungai yang terletak sangat jauh di dataran sana, tampak seperti tebing yang curam.
Siapa pun pasti akan langsung mati saat mereka terjatuh ke sana.
Anak laki-laki ini, justru berdiri di atas pagar. Menatap ke bawah, masih melihat betapa tingginya dia berdiri sekarang.
Ahh, sial.
Jika saja dirinya mampu untuk terus melihat banyak hal di bawahnya, dan bukan dirinya yang di bawah. Apakah dia akan bahagia?
Rasanya sangat menyakitkan saat dia hidup tanpa tujuan sama sekali. Tidak ada siapa pun yang menemaninya. Keluarganya tidak ada, dia juga tidak memiliki teman, apalagi orang-orang terdekatnya.
Kesepian, rindu, atau bahkan kenangan-kenangan pahit dia simpan sendirian.
Anak itu--Caka memutuskan untuk menyerah.
Mulai bergerak dari atas pagar tersebut.
"Hei, Nak. Lihatlah ke atas."
BRAK!
Nyaris.
Nyaris sedikit lagi, sebelum Caka justru menjatuhkan dirinya ke belakang, membuat punggungnya sedikit terbentur ke atas tanah. Dengan posisinya yang sekarang, Caka bisa melihat jelas ke atas langit. Bukan kelabu seperti biasanya, bukan juga biru yang membentang luas, kini terlihat perpaduan warna oranye, merah, dan merah muda yang menakjubkan dari atas sana.
Warna awan juga bahkan menyesuaikan, membuat siapa pun langsung membuka ponselnya dan segera memotret langit kala ini.
Caka kagum, sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.
"Indah, 'kan, Nak?"
Anak itu bergerak terkejut, segera bangkit dari duduknya dan menatap seorang pria tua dengan tongkat yang tersenyum ramah padanya. Kakek itu menggunakan jubah panjang berwarna putih, peci berwarna hitam juga terlihat di atas kepalanya, dengan sorban yang ia lilit di sekitar leher.
Caka menatap kakek itu terdiam, mengapa ada orang seperti itu di tempat ini? Bukankah tempat ibadahnya berada jauh dari sini?
"Aku sering kesini untuk melihat-lihat langit, setiap sore." Pria tua itu bergerak ke arah batu besar yang terletak di dekat pagar, duduk di atas sana, kemudian menatap langit dengan tatapan sendunya. "Akhirnya, ada seseorang yang menyadari bahwa langit ini juga sangat indah. Masyaallah bukan, Nak?"
Masyaallah ...? Caka masih terdiam, kemudian berjalan mendekati pria tua itu, dan duduk di samping batu yang dijadikan tempat duduknya. Kapan terakhir kali dia menyebutkan kata-kata itu?
Caka bergeming, melamun, entah mengapa ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
"Mengapa kamu tidak jadi lompat ke sana, Nak?" Kakek itu menoleh padanya, tetap dengan ekspresi ramahnya.
"Nggak ah, Kek." Caka tidak mau mengaku, dia pasti akan mendapatkan ceramahan yang sama setiap orang-orang menemukannya seperti tadi.
"Sudah berapa lama kamu melakukannya, Nak?"
Caka masih diam, menatap kakek itu sedikit lama. Mengapa pria tua itu tiba-tiba bertanya seperti itu? Dia mengenal Caka? Atau bisa mendengar kata hatinya? "Satu kali setiap bulan."
"Apakah di antara semua itu ada yang berhasil?"
"Kalau pun berhasil, saya nggak akan ada di sini," jawab Caka dengan sedikit nada sinis, agar kakek itu cepat-cepat pergi dari tempatnya sekarang.
"Kalau begitu coba terus sampai berhasil."
Caka lagi-lagi hanya diam. Pria tua itu tiba-tiba menyuruhnya? Jarang sekali ada orang yang tidak menceramahinya, justru memperbolehkan dia melakukan hal itu.
"Dan kalau pun berhasil, kamu harus lebih berjuang lagi dari penderitaan di sana, Nak." Kakek itu berdiri dari duduknya, menoleh pada Caka. "Cobalah terus, dan yakinlah pada dirimu sendiri."
Tidak ada suara lagi dari Caka.
Sebelum pria tua itu pergi dari sana membuat Caka kembali beranjak dari duduknya. Anak laki-laki itu bergerak, berdiri kembali di atas pagar seperti sebelumnya.
Caka merenung.
Saat dia terjatuh dari pagar ... apa Caka baru saja sengaja menjatuhkan dirinya ke belakang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Berdiri di Bawah 1000 Lembayung
Spiritual[ Spiritual ] Lembayung itu indah dan layungnya tampak sederhana. Caka, datang dengan berpuluh-puluh peluh, sepatunya penuh diselimuti lumpur, dan langkah-langkah yang nyaris tak terkira lumpuh. Hingga dia dipaksa untuk terus duduk selama beribu-rib...