03

4 2 6
                                    

Hari lain, renungan lain.

Lagi dan lagi, Caka diam di pagar. Menatap hamparan pemandangan sejuk, yang bahkan tidak bisa ia bayangkan sekarang.

Kemarin, Caka lupa untuk melompat lagi, dan justru mengobrol dengan seorang gadis yang cukup menarik perhatiannya. Kira-kira, ke mana lagi orang itu? Dan tentunya kakek itu ....

Caka ingin berbincang-bincang lagi dengan si pria tua itu. Sebab, beliau yang telah menahannya untuk tidak melompat sebanyak 2 kali. Namun, saat hari itu, Caka mendengar jelas bahwa si pria tua menyemangatinya untuk terjun ke dasar sana, berjuang melenyapkan dirinya sendiri.

Pria tua itu satu-satunya yang tidak menceramahi, tetapi dia berhasil menahan Caka terus-menerus.

Sore hari lagi, langit tampak terang dengan layung yang berbeda dari biasanya. Kini, mereka mengeluarkan sedikit cahaya yang membuat awan-awan tersebut berwarna merah muda cerah, membuat siapa pun dapat melihat keindahannya dengan jelas. Bahkan ada beberapa warna ungu yang tercampur dengan biru, layung-layung yang ia lihat kemarin berubah menjadi lembayung.

Caka berdiri di atas pagar. Hamparan pemandangan itu, sedikit menusuk hatinya. Sebelum Caka kembali mencoba untuk menjatuhkan diri ke bawah sana.

"Kak."

Lagi-lagi, NYARIS.

Caka terkejut, langsung ditarik begitu saja ke belakang oleh seseorang. Caka terbaring di atas tanah, mencoba melihat seseorang yang baru saja menariknya dari atas pagar.

Anak kecil?

Anak laki-laki, berumur sekitar 7 tahun menatapnya ceria dari atas sana. Tak lama, anak itu langsung menduduki perut Caka, bergerak-gerak tanpa mau diam sama sakali.

Caka sendiri sudah merasakan tidak enak di perutnya. Dari pagi, Caka belum makan dan hanya minum satu botol air, membuat perutnya yang kosong itu menjadi lebih sakit lagi.

Caka ingin muntah rasanya.

"H-hei! Turun!" seru Caka, langsung memindahkan anak itu ke sampingnya, dan duduk sembari terbatuk-batuk pelan.

Haah ... Caka tidak suka anak kecil.

"Kakak main-main di pagar? Emang bisa?" Anak itu tampak penasaran, langsung berlari secepat kilat ke atas pagar.

Rawannya bahaya di sini untuk anak-anak adalah pagar tersebut yang hanya sampai di lutut orang dewasa, membuat anak-anak dapat dengan mudah menaiki pagar, lebih berbahaya lagi jika suatu saat mereka jatuh ke dasar.

Caka, ikut berlari secepat kilat saat melihat anak itu sudah berhasil berada di atas pagar. Langsung menarik lengan anak laki-laki itu, yang untungnya bisa ia angkat dengan begitu mudah. Caka menggendongnya, kemudian menurunkan anak itu ke atas tanah.

"Jangan main-main di sana, nanti kamu jatuh!" seru Caka, berlutut di depan anak tersebut untuk menyamakan tinggi badannya dengan si anak laki-laki.

"Emang kenapa kalau jatuh, Kak?"

Anak ini serius--?! Caka menyibakkan rambutnya ke belakang, dia sudah tidak kuat lagi dengan apa yang ditanyakan anak ini.

Apa anak itu tidak pernah sekolah? Rasanya bodoh sekali.

Tunggu-- bisa juga ....

"Kalau kamu jatuh ke bawah sana, nanti kamu huek." Caka memberikan isyarat mati dengan ekspresi wajahnya sebelum dia melanjutkan. "Dan orang-orang nggak akan tau kamu ada di mana, setelah kamu terbaring tanpa nyawa--"

"Kakak juga tadi kayaknya mau jatuh ke sana tuh?" Caka memalingkan pandangannya pada anak laki-laki itu. "Kakak emang nggak takut, huek? Kalo kata Kakek, huek itu menakutkan banget. Untung deh Kakak nyelamatin aku, jadi aku nggak perlu huek. Makasih ya, kak." Kemudian membalas isyarat ekspresi Caka.

Kenapa jadi huek sih bahasanya? Caka memejamkan mata, menahan emosi. "Di mana orang tua kamu? Kamu nyasar?"

"Nggak, iya deh, eh iya nggak? Menurut Kakak apa?"

AH YANG BENER AJA!

Caka sudah tidak kuat.

"Ekhem, kamu ke sini sama siapa?"

"Sama Ibu, tadi ibu nyuruh nunggu di deket stasiun, tapi dari pagi tadi aku nggak ketemu-ketemu lagi sama Ibu. Lama banget ya ibuku, Kak?" Anak laki-laki itu mengangkat tangan Caka.

Caka terdiam. Apakah anak laki-laki itu baru saja dibuang oleh orang tuanya?

"Kita, ke stasiun, mau?"

"Wah, mau banget! Kebetulan aku nggak tau itu di mana, Kak."

"Makanya, Kakak anterin." Caka berdiri tegak, berpegangan satu tangan dengan anak laki-laki itu dan berjalan perlahan menuju tujuan mereka.

Caka juga entah harus apa. Di dekat sana, ada sebuah penampungan kecil, Caka pernah melihat, orang-orang tanpa keluarga ada di sana.

Mungkin ... anak ini harus ikut ke sana?

***

Mereka sudah sampai di seberangan stasiun. Hanya perlu menyeberang sekali lagi, dan Caka akan meletakkan anak ini di penampungan itu. Semoga saja, merek mau menerimanya.

Caka melirik anak itu, melihat anak iru menikmati es krim dengan nikmat. Caka menghela napas, dia sudah kehabisan biaya untuk air minum terakhir. Tidak apa, lagi pula Caka tidak tahu besok dia masih ada atau tidak. Caka harus kembali lagi ke tebing sebelumnya.

"Tunggu sebentar." Caka menunduk, lantas berlutut untuk memeriksa kakinya, sepertinya ada beberapa kerikil yang masuk ke dalam sana, rasanya sedikit menyakitkan.

"Eh, Bibi!"

"Hah?"

Caka menoleh, anak laki-laki itu berlari dengan kencang menuju seorang wanita dewasa yang terlihat memasang wajah paniknya. Sayangnya, anak laki-laki itu harus menyeberang terlebih dahulu, dan dia tidak bisa melihat kendaraan sama sekali.

"WOI!" Caka berteriak kencang.

Belum terlambat, dia segera berlari dengan kencang menuju anak laki-laki yang sedikit lagi berdempetan dengan sebuah mobil besar.

Saat itu juga, beberapa orang menoleh. Termasuk seorang wanita yang langsung mengubah mimik wajahnya. Wanita itu, tampak sangat terkejut.

BRRRRUKKK!!!

Beberapa orang berteriak, termasuk anak laki-laki yang berhasil Caka dorong ke depan, membuatnya terjatuh sebelum melihat kondisi Caka.

Caka bersimbah darah di kepalanya, merasakan pening luar biasa. Tubuhnya gemetar, saat itu juga dia menghampiri si anak laki-laki, memegang lengan si anak laki-laki dengan pasrah.

"Sakit."

Si anak laki-laki terdiam, membeku, tidak bergerak sedikitpun.

Ia melihat bulir air mata keluar dari mata Caka.

"Sakit." Caka terisak. Sakit, kenapa sesakit ini? Aku nggak mau mati ... rasanya sakit banget.

Siapa yang mau nolong aku nanti?

Tolong aku ....

Siapa yang tolong aku?

Caka menangis deras, menahan rasa sakit luar biasa sebelum dia mendengar orang-orang ramai dan mulai mengerubunginya.

"MIO!" Sebelum seorang wanita berteriak kencang.

Sakit, sakit banget.

Sakit, siapa yang tolong aku?

Siapa yang biayain rumah sakit nanti? Aku nggak punya uang.

Kalau aku mati, siapa yang ngebiayain pemakaman aku nanti?

Siapa?

Ah iya ....

"YA ALLAH!!"

Ya Allah.

Tolong aku.

Tolonglah aku seridha-Mu.

Berdiri di Bawah 1000 LembayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang