Caka mengendap-endap. Menatap sebuah rumah kecil yang ia yakini sebagai alamat tujuannya. Mengapa rumah ini terisolasi dari rumah yang besar itu? Apa memang Kakek Shalih memiliki rumah lain selain rumah yang ditempati keluarga besarnya?
Perlahan, Caka mendadak mengingat sesuatu. Bagaimana Mio mengatakan padanya bahwa anak itulah satu-satunya yamg memiliki ketertarikan dalam mempelajari agamanya lebih dalam.
Caka ... sedikit merasa malu, meski pada akhirnya dia mencoba mencaritahu.
Tuk tuk tuk
Caka seharusnya tidak bertingkah begitu, rumah ini sudah dipastikan sepi, sebab sang pemilik sudah tiada beberapa hari yang lalu. Caka menghela napas, seharusnya dia sudah bertemu lagi dengan pria tua itu sebelum beliau mempersilakan dirinya untuk melompat dari pagar tempat renungannya.
Krieett
Saat hendak membalik, Caka justru dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka.
"Mau ke siapa, ya?"
Caka tersentak, ada seseorang di sana. Seorang anak laki-laki seumurannya yang menggunakan sebuah peci dengan sarung melilit dari pundak sampai pinggangnya.
"S-siapa?"
"Lah kenapa ente nanya balik?"
Waduh, Caka merasa bimbang.
"Ini ... rumah Kakek Shalih, 'kan?"
Orang itu mengangguk. "Iya, bener. Sayangnya Kakek Shalih udah meninggal, ada keperluan apa, ya?"
Caka menghela napas. Dia menatap buku kecil yang dipegangnya, kemudian menganggukkan kepala, sudah membuktikan beberapa kalimat di dalam buku kecil itu.
"Btw, saya Karya. Cucu Kakek Shalih." Caka membelalak. "Kok wajah kamu kayak nggak asing begitu, ya? Kayak pernah lihat gitu .... Ya bodo amat, sih. Yang penting, tujuan kamu ke Kakek Shalih itu buat apa?" Karya memegangi dagu, kemudian menatap Caka dari rambut sampai kakinya.
Karya tersenyum senang.
"Kamu menyesal juga ya? Nggak minta diajarin Kakek Shalih? Saya, sih ... menyesal banget, ya." Karya pergi keluar dari pintu rumah itu, sedikit membuat Caka kebingungan, apa yang dilakukannya? Karya juga mengunci pintu rumah Kakek Shalih, sebelum dia melempar kunci itu dan menangkapnya lagi. "Jangan-jangan kamu mau tobat juga, ya? Udah capek sama dunia? Dah lah, tobat aja yuk."
"Hah?!"
Caka tidak tahu apa yang terjadi dengannya sekarang.
Caka tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di sebuah teras yang sekarang sangat asing baginya. Sebuah bangunan dengan kubah megah itu, sekarang sedang Caka pandangi dengan saksama.
Apa yang harus Caka lakukan sekarang?
"Eh cepet, buka sepatunya." Karya cukup aktif kelihatannya, lelaki itu langsung membuka alas kakinya, begitu pula Caka yang mengikuti setiap gerak-gerik Karya.
Mereka masuk ke dalam tempat wudhu, hingga Caka menatap air yang mengalir dari kran air tersebut. Dari kapan Caka tidak menyentuh air itu lagi? Air yang akan membasahi beberapa bagian tubuhnya sesuai dengan setiap tata tertib yang mengharuskannya mengikuti sesuai rukun.
Tunggu, bagaimana juga? Caka lupa.
Caka menoleh, melihat Karya yang memulainya dari tangan, terus memperhatikan Karya hingga beberapa menit silam, Karya berakhir di membasahi kakinya.
Caka menghela napas. Saya buat berwudhu karena Allah Ta'ala. Caka tidak tahu apa bahasa arabnya, dan langsung memulainya begitu saja sesuai dengan apa yang ia lihat dari Karya.
"Dulu, Kakek selalu ngajak saya ke sini, cuman saya nggak mau, kayak ... buang-buang waktu aja gitu." Karya menghembuskan napas. "Sampai saya sadar, pada saat beliau mengembuskan napas terakhirnya waktu itu, saya solat buat beliau. Eh ternyata ... solat itu istirahat yang bener-bener istirahat buat saya, dan buat seluruh umat muslim yang menyadari kalau solat sepenting itu."
Sekilas, Caka mengingat kata-kata Mio lagi.
Mio adalah cucu dari Kakek Shalih, lantas ... lelaki ini siapanya Mio? Sepupunya? Saudaranya?
"Omong-omong--"
"Habis ini, ngaji, yuk. Temenin saya, hehe. Kamu bisa baca Qur'an, 'kan?" Belum Caka melanjutkan, Karya tiba-tiba menyelanya. Mungkin karena suara Caka juga terlalu rendah, membuat Karya langsung memotong pembicaraannya begitu saja, ya Caka maklumi.
Hah tadi ....
Membaca Al-Qur'an?
Boro-boro! Caka mengingat huruf arabnya saja tidak! "Eh, aku nggak bisa baca--"
"No problem, bruh. Justru saya ada temen, nih." Karya tersenyum lebar kemudian menunjuk dirinya sendiri sebelum melanjutkan, "Saya juga masih iqra."
Caka menatap Karya bingung, sebelum dia mengikuti Karya yang bergegas memasuki masjid saat komat mulai berkumandang di area masjid.
Ada sedikit gejolak aneh yang dirasakan Caka.
Caka tidak ingin terlalu menghayati setiap gerakan solatnya saat ini, dia juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi, hanya mengikuti imam, dan beberapa kali juga mencuri-curi pandang, tidak sesuai dengan syariat. Daripada terlihat seperti remaja yang sedang fokus solat, Caka justru terlihat seperti seorang anak kecil yang belajar solat.
Hingga Caka mencapai akhir sujudnya. Namun, pada saat itu Imam terlalu lama di sujud terakhir tersebut.
Caka tetap diam.
Sebelum merasakan banyaknya orang-orang yang sedang berbicara dalam sujudnya itu, termasuk seorang pria di sampingnya yang mengucapkan beberapa doa dengan bahasa arab.
Pada saat itu, kita harus meminta doa. Mengingat Allah, meminta kelembutan Allah dalam mengatur setiap nasib dan takdir kita.
Caka tertegun.
Sebelum imam kembali mengucapkan takbir terakhir, untuk memimpin tahiyat terakhir.
Dan Caka, masih belum sadar dari lamunannya.
***
Pintu ruangan terbuka perlahan. Caka langsung berbaring di atas tempat tidur, menatap atap-atap yang sudah usang, mungkin jika dibiarkan beberapa tahun lagi, atap itu akan runtuh.
Huft, Caka akan tinggal di mana kalau begitu?
Caka juga tidak percaya, dia baru saja melalukan ibadah yang tidak pernah ia lakukan lagi bertahun-tahun.
Allah itu maha pengasih lagi maha penyayang, apa yang membuat semua orang ragu dengan setiap tindakan-Nya? Sedangkan nyawamu masih ada saja sudah termasuk ke dalam kelembutan-Nya.
Kita tidak tahu, seberapa pedihnya di sana daripada di dunia, dan Dia memberikan kesempatan beribu-ribu kesempatan.
Caka mengingat catatan di buku kecil itu.
Lagi.
TUK TUK TUK!
"WOI BUKA PINTUNYA!"
Hara tersentak, menoleh ke arah pintu ruangan yang diketuk begitu kuat dari luar.
Dan suaranya terdengar seperti ... pemilik tempat ini.
Caka membuka pintu ruangan, melihat seorang ibu-ibu berbadan besar dengan rambut keriting dan daster, menatap Hara dengan tatapan tajam.
"Mana uang bulan ini?!"
"Belum ada, Ibu."
"ADUH, BELUM ADA BELUM ADA, DARI KEMARIN BELUM ADA! SAYA SUDAH CAPEK YA NGURUSIN ORANG-ORANG NGGAK BERGUNA DI SINI!" Caka tersentak, menatap ibu itu yang wajahnya sudah merah padam. "Kemasi barang-barang kamu, keluar dari sini sekarang juga!"
Caka sangat panik.
Jika begitu, tinggal di mana dia nanti?!
Aduh.
Padahal dia baru saja beribadah, tetapi mengapa ... hidupnya jadi lebih sulit setelah dia pergi ke bangunan berkubah itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Berdiri di Bawah 1000 Lembayung
Spiritual[ Spiritual ] Lembayung itu indah dan layungnya tampak sederhana. Caka, datang dengan berpuluh-puluh peluh, sepatunya penuh diselimuti lumpur, dan langkah-langkah yang nyaris tak terkira lumpuh. Hingga dia dipaksa untuk terus duduk selama beribu-rib...