Kamu manusia tak kasat kata.
Dirimu.
Seseorang yang memberikan catatan hariannya padaku.
Seharian Karya bulak-balik ke masjid, dia juga yang berkegiatan di sana, daripada Caka sendiri. Karya berkata kepada Pak Harsa bahwa Caka ada di rumahnya, tidak bisa dibangunkan untuk sesaat. Pak Harsa sendiri mengelus dada, beruntung anak itu tidak apa-apa sekarang.
Lalu saat itu tepat di tengah malam, Karya baru saja pulang dari masjid. Menatap ke sekitar rumahnya yang tampak sepi, kemudian langsung membaringkan tubuhnya di sofa ruang tamu.
Tunggu, sepertinya ada yang kurang.
"Caka!" seru Karya langsung berkeliling ke sekitar rumah kakeknya, sayang sekali, Caka tidak ada di sini. Karya kembali frustrasi, mengacak-acak rambutnya, kemudian berlari ke halaman rumah. Tante Jun juga tidak ada, sepertinya wanita itu sedang ada urusan yang sedikit mepet.
Karya bergegas mengunci pintu rumah, sebelum menaiki motornya dan segera menyalakan mesin kendaraan itu.
"Mau apa?!"
Karya mundur sedikit setelah mendengar bentakan dari wanita yang menatapnya tajam tepat di depan pintu. Bagaimana Karya mau betah berada di sini? Wanita yang matanya sembab dan rambutnya yang sangat berantakan itu--ibunya juga tidak mau menerima dia, bahkan seperti saat ini.
"Aku mau ketemu Mio, Bu."
"Menurut kamu?"
"Iya?"
Wanita itu memutar bola matanya, membuat Karya mengangkat satu alis, ga jelas merutukki ibunya sendiri di dalam hati.
"Mio, nih kakak kamu!" Wanita itu mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam sakunya, kemudian mengambil satu rokok itu dan menyalakannya.
"Ibu ... masih ngerokok?"
Wanita itu tidak menjawab dan langsung pergi ke dalam rumah tanpa berbicara sepatah kata pun lagi. Baiklah, Karya sangat kesal sekarang. Padahal, sejak dulu Karya dekat dengan ibunya itu, tidak pernah sedikitpun menyentuh sigaret apa pun.
"Karya!"
Karya tersenyum, melihat Mio merentangkan tangannya dan langsung memeluknya. "Mio, lihat Kak Caka, nggak?"
"Hah? Nggak tuh? Bukannya Kak Caka tidur kemarin di sofa rumah Kakek?" tanya Mio mendongak dengan wajah polosnya, membuat Karya semakin merasa pusing. "Kak Caka hilang?"
"Ya gitu deh, apa tanya ke Ilma aja ya?"
"Aku mau ikut, Karya!"
Sepanjang jalan, Mio berdiri di jok depan motor Karya. Keduanya tidak izin terlebih dahulu, sebab Karya tidak peduli juga dengan ibunya yang mungkin sedikit khawatir karena si bungsu telah ia bawa seenaknya.
"Eh! Karya. Kayaknya aku tau deh, Kak Caka di mana!" seru Mio membuat Karya langsung semringah.
"Di mana?!"
Bagaimana bisa aku melirik?
Bisa jalan meski terseok-seok saja aku sudah merasa lega.
Apalagi aku berlari dengan sangat kencang, hanya untuk menghampiri-Mu?
Bulan begitu indah.
Di dunia ini, banyak yang belum aku ketahui.
Termasuk bagaimana bulan dan bintang-bintang itu hidup di ruang angkasa sana? Mereka sangat indah dari sudut pandang bumi, lantas ... apakah mereka akan semakin indah lagi di atas sana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Berdiri di Bawah 1000 Lembayung
Spiritual[ Spiritual ] Lembayung itu indah dan layungnya tampak sederhana. Caka, datang dengan berpuluh-puluh peluh, sepatunya penuh diselimuti lumpur, dan langkah-langkah yang nyaris tak terkira lumpuh. Hingga dia dipaksa untuk terus duduk selama beribu-rib...