12

2 0 0
                                    

Isak tangis itu tidak henti-hentinya keluar, membuat beberapa orang yang masih berada di sana hanya bisa terdiam mendengar tangisannya.

Caka masih tidak mempercayai, wasiat Kakek Shalih bukan diberikan kepada cucu-cucunya, bukan juga kepada anak-anaknya, justru pria tua itu memberikannya kepada orang asing yang sudah pasrah dengan kehidupannya.

Bukan beberapa hal yang Caka pikirkan, Caka justru mengira bahwa orang-orang ingin membuatnya semakin menderita. Akhirat itu senyata apa sebenarnya? Mengapa dia terus dipaksa untuk melihat kehebatan dua alam yang bahkan tidak pernah dialaminya?

Tangisan Caka semakin keras, lelaki itu bahkan sampai memukul-mukul dadanya yang mulai terasa sesak. Karya yang menatapnya hanya bisa memegangi salah satu tangan Caka, tidak tahu harus bertindak seperti apa lagi.

Mio masih tertidur, beruntung tidak terbangun. Tantenya juga mengurung diri di dalam kamar, enggan melihat keramaian yang terjadi di ruang tamu.

Seseorang lagi ... Ilma datang membawakan sebuah gelas dengan air hangat di dalamnya. Menatap Ilma bekerja dengan hasil yang baik, Karya berpikir, mungkin sulit membuat minuman tanpa melihat apa pun.

"Kakek Shalih nggak mau ada seseorang yang bernasib sama dengannya." Caka menoleh dengan wajah yang basah dipenuhi air mata, menatap Ilma penuh dengan tatapan sendu. "Meskipun pada akhirnya dia bisa membangun keluarganya sendiri di tengah-tengah segala penderitaannya, tetapi tetap saja ... menyakitkan saat melihat seseorang kehilangan arah seperti dirinya."

Karya hanya menunduk. Caka masih terisak, dadanya seperti tidak bisa menahan, sedangkan air matanya sama sekali tidak mau berhenti keluar.

"Termasuk aku," lanjut Ilma membuat Caka membulatkan matanya, sedangkan Karya mulai memperhatikan. "Aku juga nggak mau, melihat seseorang menderita begitu parah sehingga melupakan Allah ... seperti diriku."

Caka maupun Karya tidak percaya. Ilma adalah gadis perantau yang datang hanya untuk menimba ilmu dari seorang pria tua yang menyelesaikan taubatnya. Ilma sangat menjaga diri dari segalanya, dia juga gadis yang begitu lembut, baik hatinya, serta pandai dalam keagamaan. Namun, Ilma yang seperti itu juga pernah berada di masa-masa tidak mempercayai Tuhannya? Allah Ta'ala?

"Mataku, mungkin salah satu saksinya, sehingga mereka memilih untuk menghilang selama-lamanya." Caka menatap Ilma lekat-lekat sembari menahan isaknya.

***

2 tahun sebelumnya.

Nggak ada yang pernah aku mengerti juga di dunia ini.

Menurutku, dunia ini jauh dari kata nyata. Semuanya hanyalah angan-angan belaka yang dibantu dengan usaha. Lantas bagaimana dengan diriku yang hanya ingin hidup damai di sini?

"Ilma! Kamana wae ai manéh? Maén weh maén, ka dieu heula!"

Gadis itu baru pulang tepat di jam 11 malam. Menatap sendu ke arah pintu rumah yang terbuat dari kayu, dan mendengar teriakan dari dalam sana.

"Bu, Ilma capek, izin ke kamar dulu."

"ILMA!"

Ilma menunduk, membaringkan badannya ke atas tempat tidur. Kemudian menatap langit-langit rumahnya yang sudah koyak, mungkin sebentar lagi atap rumah itu akan mengeluarkan hujan reruntuhan.

Aku tidak tahu apa itu arti menerima.

Menurutku, dunia sangatlah tidak adil.

"Ilma mau ke mana lagi?"

"Main, Mah," jawab Ilma acuh tak acuh.

"Ilma ada uang?"

Ibuku mengerti tentang kesulitanku pada saat itu. Di mana aku hanya duduk, tidak memesan apa pun jika kami berada di sebuah cafe ... dan aku hanya bisa berdiri di sana, menatap mereka dengan benda-benda bermereknya.

"Ada." Ilma membohongi ibunya sendiri, pergi begitu saja, membiarkan sang ibunda yang menatapnya dari kejauhan dengan wajah penuh kekhawatiran.

Kehidupanku terus seperti itu.

Sehingga itu semua menjadi titik terakhirku bertumpu.

"Loh? Rumah Ilma ternyata kecil banget, ya? Orang tuamu mana, Ma?"

Ilma lupa, mengapa dia mengajak teman-temannya yang anti kotor itu masuk ke dalam rumah kecilnya?

Mereka berpapasan, Ilma juga memanggil sang ibunda. Keduanya saling menyapa, sebelum salah satu teman Ilma memilih untuk menunggu di luar.

"Ayahmu mana, Ma?"

"Udah nggak ada." Ilma tersenyum, membuat teman-temannya itu menganggukkan kepala.

Sebelum satu per satu di antara mereka tidak pernah mendekatinya lagi.

Aku berpikir.

Apakah aku boleh tidak dengan ibu lagi? Tidak dengan keluargaku lagi?

Mengapa aku berpikir seperti itu?

Agar tidak ada yang mengenaliku.

Hari itu, Ilma benar-benar pergi dari rumahnya. Dengan uang tabungan dan sepeser uang yang ia curi dari laci kamar Sang Ibu. Dia pergi menggunakan sebuah bus, entah pergi ke mana ... yang terpenting, segala kejadian memalukan itu hilang dari hidupnya.

Apa yang sebenarnya aku lakukan waktu itu?

Hingga aku menemukan sebuah tempat sepi yang asing.

Melihat seorang kakek-kakek sedang meratapi langit di malam hari itu.

Lalu, keduanya bertatapan.

Hari itu tidak pernah Ilma lupakan. Beberapa kali ia diajak untuk pergi beribadah oleh pria tua yang bahkan tidak Ilma kenali karena Ilma tidak mengenali siapa-siapa lagi ... dia tidak tahu harus tinggal di mana.

Hingga Ilma berkumpul di rumah pria tua itu, bersama beberapa murid yang sudah menunggunya.

"Sesuai namamu, Ilma. Kamu harus menguasai segala ilmu," ujar pria tua itu.

Aku pikir itu segala akhir kesulitanku.

Rupanya, hatiku tidak pernah mau mendengarkan.

Rumah kakek itu besar, dan Ilma dipersilakan untuk bekerja di sana. Ilma merasa senang ... dia bisa membawa banyak temannya, pada akhirnya menjadi manusia yang bergengsi lagi. Penuh dengan iri hati bila tidak ada yang sesuai dengannya.

Sebelum seseorang datang mendatangi.

"Ilma?"

Ibunya berdiri di depan pintu, menangis tersedu-sedu, memeluk Ilma dengan sangat erat.

Aku sangat menyesal.

Padahal ibu adalah salah satu insan yang tidak akan pernah meninggalkanku, meskipun aku dalam kondisi seburuk apa pun.

Namun, kala itu aku justru melarikan diri lagi dan lagi.

Terlebih, aku dihadapkan oleh orang-orang itu.

Aku nyaris dibuat kotor, sebelum aku dipukuli habis-habisan, kepalaku terbentur dengan sangat kuat, saat itu juga sesuatu terjadi lebih buruk lagi.

"Mamah ...." Padahal Ilma sudah membuka mata, tetapi mengapa semuanya jadi gelap yang samar? Ilma tidak jelas melihat. "Mah ... MAMAH! MAMAH!"

Saat itu, dia memelukku erat.

Sangat erat.

"Maaf .... Mamah minta maaf sebesar-besarnya, Mamah nggak bisa menjaga kamu, Ilma."

Aku lupa.

Mama hanya memiliki diriku aku.

Dan aku hanya memiliki mama.

Aku tidak bisa melihat lagi.

Mungkin ini segala peringatan dari-Nya. Bahwa aku masih harus dipapah oleh Mama, karena Mama masih ingin terus bersamaku, begitupula sebaliknya.

***

"Aku merasa sangat sedih." Ilma mengeluarkan bulir air matanya. "Dan aku pikir, setiap hal yang menimpa kita yang berasal dari-Nya, adalah segala peringatan dan pertolongan. Caka, mungkin kamu nggak dibiarkan pulang, karena kamu masih butuh semua persiapan di dunia ini."

Ilma tersenyum, sedangkan Caka semakin menangis tiada henti.

Berdiri di Bawah 1000 LembayungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang