Caka masih belum pulih dan tidak dibiarkan keluar dari rumah sakit, sesuai janji dari keluarga anak laki-laki yang sebelumnya ia selamatkan, mereka akan bertanggung jawab sepenuhnya sampai Caka 100% pulih.
Lelaki itu turun dari ranjangnya, berjalan sembari membawa infusnya ke depan kaca jendela. Rumah sakit ini berada di tengah-tengah kota, tidak heran jika Caka menilai sangat tinggi tentang tempat ini.
Orang-orang itu ... pasti punya banyak uang.
Lantas, Ilma itu siapa?
Pintu ruangan diketuk perlahan dari luar. "Silakan." Membuat Caka langsung menjawab ketukan pintu tersebut hingga pintu itu terbuka sangat lebar.
Wanita yang kemarin datang kembali lagi sembari menuntun seorang anak laki-laki yang sedari kemarin sangat ingin Caka temui.
Itu Mio, dengan mata sembabnya yang langsung melepaskan pegangan dari si wanita.
"Itu ... maaf kalau kami tiba-tiba datang ke--"
"Assalamu'alaikum, Kakak."
Perkataan wanita itu dipotongnya oleh salam Mio. Anak laki-laki itu membungkuk pada Caka, sebelum Caka bergerak untuk memegang rambutnya kemudian mengusapnya pelan.
Caka sedikit ragu-ragu menjawab sebelum dia akhirnya membalas, "Wa'alaikumussalam ... Mio, 'kan? Dan--" Seharusnya kemarin Caka menanyakan nama tante dari Mio ini kepada Ilma.
"Ah iya, maaf terlambat. Nama saya Gendis," jawab wanita itu yang sepertinya mengerti sekaligus memaklumi tindakan Caka sekarang. "Mio datang ke sini, saya beri amanah untuk meminta maaf. Hei, cepet!"
Mio menatap Gendis, sebelum dia menatap Caka lekat-lekat. "Ini memang terlambat, Kak Caka. Tapi aku mau minta maaf semaaf maafnya sama Kak Caka, karena Kak Caka jadi celaka. Dan makasih juga sama es krim yang Kak Caka kasih sebelumnya."
Caka tersenyum, berlutut masih tetap mengusap rambut Mio. "Iya, Kakak maafin selalu, kok. Tapi lain kali, kamu harus lihat-lihat dulu, ya? Jangan bertindak seenaknya, oke?"
Mio menganggukkan kepalanya. "Oke."
"Udah, ya. Kita balik ke rumah." Caka terkejut, mereka hanya datang untuk meminta maaf. Padahal Caka ingin bersama Mio dulu sampai waktu berikutnya, mengapa orang-orang ini?
"Nggak mau, Bi. Aku mau main sama Kak Caka!" seru Mio mencoba melepaskan tangannya yang ditarik secara paksa oleh Gendis.
"HEH! Ibu kamu udah nungguin di rumah!"
"Nggak mau!"
Caka masih diam di tempat, apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia juga tidak ingin Mio langsung dibawa begitu saja.
"Mio nggak bisa di sini aja?" tanya Caka, membuat Gendis mengembuskan napas kesal.
"Dia ada urusan."
"Di sini aja, Bi. Kasian juga anaknya di rumah nggak ada siapa-siapa, Ibu juga baliknya sore nanti."
Caka terdiam, melihat seseorang di luar. Itu Ilma, memberikan senyuman kepada Caka maupun Gendis. Gendis memutar bola matanya kesal, melepaskan tangan Mio di tempat yang langsung membuat Mio terjatuh ke belakang.
Caka segera membantu Mio, dan Gendis mulai berjalan keluar ruangan.
"Saya titip, Ilma. Dan jangan selalu mencampuri urusan kami."
Ilma tidak mendengar apa pun lagi, sebelum Caka memandangnya bingung. "Ada yang mau aku omongin bentar."
***
"Sebentar lagi aku mau ke luar kota." Caka menatap Ilma yang tiba-tiba menyodorkan sebuah buku kecil berwarna merah dengan tali yang mengikatnya agar terus tertutup rapat.
Di ruangan itu, tepatnya di atas sofa, keheningan menguasai. Hanya ada suara Mio yang sibuk memainkan tirai jendela rumah sakit. Caka dan Ilma juga beberapa kali menahan Mio agar tetap diam, tetapi sepertinya Mio memang anak yang penuh dengan tekad pantang menyerah.
Caka menatap buku itu, melihat Caka tidak ada pergerakan sama sekali, membuat Ilma menghela napas.
"Tugasku belajar di sini udah selesai." Ilma menghela napasnya. "Memang lebih banyak kesulitannya, sih, tapi aku bersyukur di balik itu semua."
"Lalu ... buku kecil ini?"
"Kamu tau tujuan sebenarnya aku pergi ke tempat layung itu? Memang benar, aku sibuk menghapal, sesuai sama apa yang disuruh beliau ... tapi justru, amanah sebenarnya--" Ilma tidak melanjutkan, membuat Caka semakin penasaran. "Ekhem, maaf kalau terkesan nggak sopan, tapi apa kamu pernah ketemu kakek-kakek di tempat kemarin itu?"
Caka terdiam. Apa kakek itu? Ah iya, kakek itu ... Caka harap dia bisa bertemu lagi dengan pria tua itu.
Hari pertama Caka merenung tempat itu.
"Iya ... sepertinya? Aku baru ke sana satu hari sebelum ketemu sama kamu."
"Bener." Ilma tersenyum, semakin menyodorkan buku kecil itu. "Ini buat kamu, dari Kakek Shalih. Kakek selalu nitipin ini di belakang tempat tidurnya, katanya kalau beliau udah nggak ada ... tolong kasih ini ke kamu. Dan dia nggak ada, tepat setelah beberapa jam kasih amanat itu ke aku."
Caka menerima buku itu, menatap apa-apa saja yang terlihat dari luar buku kecil tersebut.
Apa maksudnya?
Kakek Shalih?
Caka terdiam.
Pria tua itu ... benar-benar sudah tidak ada?
"Mungkin, kamu bisa buka itu sekarang. Aku maupun Mio nggak akan melihatnya, kok." Ilma tersenyum, membuat Caka menganggukkan kepalanya, benar juga perkataan gadis itu.
Caka melihat awalan halamannya.
'Aku dan 1000 Keindahan di Hari-hari Matahari dan Bulan.'
Itukah judul dari semua catatannya?
Caka melihat sekilas sebelum dia langsung melompatkan halamannya ke yang paling terakhir.
Ini bulan Juni.
Setelah berpuluh-puluh tahun saya menikmati hidup, saya akhirnya menulis lagi dan mungkin akan menjadi hari terakhir saya menulis.
Tadi pagi, saya bertemu dengan seorang anak laki-laki. Dia sepertinya hendak membunuh dirinya sendiri, seperti saya di masa lalu.
Caka membelalak.
Saya tidak akan menghentikannya, tetapi saya harap dia akan terus merenungi semuanya setelah melihat betapa indahnya seluruh alam di sekitar tempat itu.
Saya ingin dia terus menahan diri untuk tetap hidup ... hanya untuk-Nya.
Untuk-Nya ...?
Caka menatap Ilma, kemudian berdeham pelan.
"Kakek Shalih adalah guruku, beliau juga mengajar di sebuah pengajian. Salah satu muridnya di sana adalah Mio--cucunya sendiri." Ilma lagi-lagi menghela napas.
"Satu-satunya orang yang ingin diajari oleh kakek hanyalah aku."
Caka menoleh, melihat Mio tiba-tiba mendatanginya dan duduk seenaknya di samping Caka. Meski begitu, Caka hanya tersenyum melihat tingkah anak laki-laki itu.
"Semua orang ... mau dari ibu sampai kakak, tidak ada yang mau mengikuti jejak kakek." Mio menunduk. "Kata Kakek, mereka tidak mengingat akhirat, dan lebih menyukai dunia sampai menolak setiap ajaran yang diberikan Kakek. Aku rasanya sedih ... karena semua itu, keluargaku jadi kelihatan kayak neraka daripada rumah."
Caka lagi-lagi tidak berbicara dan hanya mendengarkan.
Seburuk itukah?
Orang-orang yang tidak mengingat akhirat. Namun, dunia ini sudah pahit untuk ditelan.
"Kak Caka, kakak ... islam, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Berdiri di Bawah 1000 Lembayung
Spiritual[ Spiritual ] Lembayung itu indah dan layungnya tampak sederhana. Caka, datang dengan berpuluh-puluh peluh, sepatunya penuh diselimuti lumpur, dan langkah-langkah yang nyaris tak terkira lumpuh. Hingga dia dipaksa untuk terus duduk selama beribu-rib...