Hari ini, sama seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada yang berbeda, Caka terus merasa dia berlalu-lalang sendirian tanpa adanya keinginan.
Sudah beratus-ratus kali dirinya bertanya, mengapa masih harus hidup dan membuang-buang waktu seperti saat ini?
Matanya menatap sendu ke arah jalanan sepi yang membawanya ke sebuah tempat teduh. Sore hari ini, angin sejuk perlahan menyapa ribuan insan, termasuk Caka yang rambutnya bergerak-gerak karena diterpa angin. Sampai Caka menginjakkan kakinya di sana, melihat pemandangan yang begitu indah di luar pagar tebing.
Tempat seperti ini, sangatlah cocok untuk orang-orang yang ingin menyendiri. Mungkin Caka juga termasuk ke salah satunya. Namun, tujuan Caka bukanlah untuk menenangkan diri, melainkan menghilangkan dirinya sendiri dari berbagai jejak penderitaannya selama berada di dunia ini.
Anak laki-laki itu, lagi-lagi naik ke atas pagar penghalang. Menatap pemandangan yang semakin leluasa ia lihat. Dunia seindah ini, tetapi mengapa nasibnya tidak seperti mereka yang membuat dunia ini menjadi lebih berarti? Lagi pun, Caka hanyalah sampah dunia, dia tidak melakukan apa-apa lagi di sini.
Caka bukanlah seorang ilmuwan yang berhasil menciptakan sesuatu, Caka bukanlah presiden atau bahkan anaknya yang mencoba berbaur dengan politik untuk mengurusi warga di negaranya, Caka bukanlah selebritis yang berhasil membuat orang-orang terhibur, Caka bukanlah apa-apa.
Hingga Caka berhasil mengangkat satu kakinya, terapung di sana, mencoba untuk menenggelamkan pikiran sejauh-jauhnya. Dan secara perlahan menjatuhkan dirinya lagi, seperti sebelum-sebelumnya.
اِنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗ وَاِ نْ تُؤْمِنُوْا وَتَتَّقُوْا يُؤْتِكُمْ اُجُوْرَكُمْ وَلَا يَسْـئَــلْكُمْ اَمْوَا لَكُمْ
innamal-hayaatud-dun-yaa la'ibuw wa lahw, wa ing tu-minuu wa tattaquu yu-tikum ujuurokum wa laa yas-alkum amwaalakum
"Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta hartamu."
Caka menoleh ke belakang, dan kembali turun dari pagar. Apa ada yang bersamanya sedari tadi?
Caka terdiam, melihat seorang gadis berjilbab panjang menggunakan baju yang juga sangat panjang. Gadis itu membawa sebuah ponsel, terdengar jelas suara lantunan dari ponsel tersebut, sebelum si gadis melanjutkan dengan menyebutkan arti dari lantunan berbahasa arab tersebut.
"Maaf?" Entah mengapa, Caka merasa sedikit tersindir kala itu.
"Eh, ada orang? Maaf, ya. Nggak ada tempat tenang, jadi aku ke sini," jawab si gadis membuat Caka bergeming, tidak menjawab lagi.
Gadis itu tidak bisa melihatnya?
Ah atau--
"Maaf, aku nggak bisa lihat. Jadi cuman ini caraku buat menghapal," lanjut si gadis, sedangkan Caka tidak merespon apa pun lagi. "Aku balik lagi, haha, makasih, ya." Gadis itu terlihat canggung, berburu-buru untuk segera pergi.
"Tunggu!"
Hingga keduanya terdiam di tempat, tepat sebelum gadis itu berjalan hendak meninggalkan Caka sendirian.
"Kamu aja yang di sini, biar aku yang pergi." Caka tidak tega, mungkin gadis itu butuh tempat yang sunyi untuk konsentrasi dengan segala lantunan ayat suci itu, dan mungkin akan terjadi sesuatu yang fatal jika dia yang berada di tempat tersebut.
Gadis itu tertawa pelan tanpa mengeluarkan suara, sangat ramah. Dia menunduk pelan, kemudian menoleh ke sekitar.
"Makasih, ya. Omong-omong, apa yang kamu lakuin di sana?"
Bukankah gadis itu tidak bisa melihat?
Apa memang biasanya ada yang seperti itu? Dan kebetulan, gadis itu mengetahuinya?
Caka menghela napas. "Cuman ngelihat senja."
Gadis itu terdiam. "Wow, kamu kayak Kakek Shalih dia ke sini setiap hari buat liat layung."
"Kakek Shalih?" Caka mengangkat satu alisnya, apa jangan-jangan kakek yang kemarin?
"Rumahnya nggak jauh dari sini, depan gang deket taman. Belok sekali dan ada rumah cat abu di sana, beliau tinggal sama keluarganya. Beliau yang selalu jadi imam masjid, dan emang sering menetap di sana." Gadis itu tersenyum. "Aku pernah ngelihat jelas penampakan rumah itu, sekarang nggak tau kayak gimana."
Tunggu, Caka seperti menebak sesuatu. Apa gadis itu tidak bisa melihat bukan sejak lahir?
"Dan Kakek Shalih dikabarkan meninggal tadi malam."
Caka tersentak.
Bisu seribu bahasa.
Bagaimana bisa? Beliau kakek-kakek yang kemarin menemaninya di sini, 'kan? Atau bukan? Tidak mungkin juga pria tua yang tampak sehat dan bugar kemarin itu tiba-tiba meninggal di tengah malam.
"Takdir nggak ada yang tau." Gadis itu tersenyum lagi, sebelum dia kembali berjalan sembari mengangkat tongkatnya untuk meraba tanah dengan ujung tongkat tersebut. Sebelum suara lantunan terdengar lagi.
Caka membalikkan badannya, dengan lirikan mata yang menatap sendu ke arah langit di sore hari ini.
Benar, langit tampak begitu indah.
Caka menghela napas, sembari berjalan dengan begitu lesu ke arah rumahnya.
Rasanya, dia ingin bertemu dengan pria tua itu sekali lagi untuk mengetahui alasannya.
Mengapa pria tua itu sangat menghargai pemandangan-pemandangan yang bahkan hanya bisa ia lihat? Lagi pula, pemandangan itu juga tidak bisa menyelamatkan semua nasib kacaunya.
Caka melihat dinding apartemen yang besar. Kepalanya menunduk, sebelum dia menyandar pada dinding tersebut. Caka terdiam lagi, melamun sepenuh hati, setelah dia bertemu dengan gadis itu, dan semuanya yang baru saja ia pikirkan.
Ada benarnya dan ada yang janggal juga untuk Caka.
Embusan napas terdengar sangat berat keluar dari mulut Caka. Sebelum lelaki itu kembali berjalan menuju rumah sewaannya.
Lagi-lagi dirinya lupa untuk jatuh ke dasar tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berdiri di Bawah 1000 Lembayung
Spiritual[ Spiritual ] Lembayung itu indah dan layungnya tampak sederhana. Caka, datang dengan berpuluh-puluh peluh, sepatunya penuh diselimuti lumpur, dan langkah-langkah yang nyaris tak terkira lumpuh. Hingga dia dipaksa untuk terus duduk selama beribu-rib...