09. kakak dan adik

2 0 0
                                    


Hari ini Gantari hanya menghabiskan waktunya di cafe sampai malam sendirian untuk mengerjakan proyek nya, setelah kematian Lamont di perusahaannya membuat pekerjaan Gantari sedikit terhambat. Ia harus bisa menyelesaikan proyeknya dua bulan yang akan datang.

Gantari memijat jari-jari tangannya yang sudah terasa kaku, hari sudah malam. Pelayan cafe juga sudah memberikan informasi kepada Gantari untuk segera meninggalkan cafe karena akan tutup. “Tidak terasa waktu sudah malam lagi, aku harus segera pulang sebelum ibu marah.”

“Terima kasih sudah mampir, hati-hati di jalan ya mba. Soalnya sekarang kan lingkungan sedang rawan, untuk beberapa bulan ke depan restoran di sekitar sini juga tidak di perbolehkan buka di atas jam sepuluh,” ucap Zaing, pelayan kenalan Nohan .

“Oh pantas saja jam segini sudah mau tutup, saya juga benar-benar lupa waktu seharusnya saya juga pulang tidak terlalu malam.”

“Hati-hati pulangnya!”

Gantari merasa bosan jika harus mengerjakan ceritanya di rumah, rasanya terlalu pengap dan selalu saja tidak mendapatkan referensi yang bagus.

Pada saat di perjalanan pulang Gantari mengutak-atik handphone nya, berniat membalas pesan dari ibunya yang terus bertanya akan keberadaannya. Namun beberapa menit kemudian Gantari merasakan perasaan yang aneh, ia merasa ada seseorang yang kini tengah mengikutinya. Ia menoleh ke belakang namun tidak ada siapa-siapa, ia berusaha untuk mempercepat jalannya.

Ia sudah tidak bisa membalas chat dari ibunya karena kini tubuhnya bergetar hebat, malam di jalanan begitu sepi karena orang-orang sudah tidak berani lagi untuk keluar rumah malam-malam. Hanya Gantari yang lupa akan lingkungannya yang kini sudah berubah menjadi sarang bagi psikopat yang dengan liarnya mencari mangsa.

'tolong siapa pun tolong aku, aku gak mau mati karena ini!’

Suara langkahan kaki di belakangnya melaju begitu cepat, Gantari hanya mengepak tangannya dan sedikit berlari. Ia sadar bahwa kini memang benar ada orang yang tengah mengikutinya. 

“GANTARI!” teriak seorang laki-laki yang berada tak jauh di depan Gantari. Gantari menyipitkan matanya lalu melihat sosok laki-laki berkemeja hitam memakai topi melambaikan tangan kepadanya, ia sudah dapat memastikan kalau lelaki itu adalah Nohan.

Dengan cepat Gantari berlari ke arah Nohan lalu memeluknya, di dalam pelukan Nohan Gantari menangis penuh lega. Ia tidak tahu akan nasibnya jikalau tidak ada Nohan yang datang, “Makasi sudah datang, makasi sudah menolong aku!”

Nohan hanya terdiam dengan kebingungan, berusaha untuk menemukan Gantari. “Tidak apa-apa semua baik-baik saja aku sudah di sini.” Nohan bisa merasakan detak jantung Gantari yang begitu cepat. Sepertinya Gantari benar-benar ketakutan.

**

Hari ini dengan tiba-tiba hujan deras datang, padahal tadi langit terasa cerah dengan matahari yang bersinar. Ratni menepikan motornya di tepi jalan untuk meneduh, karena hujan mungkin ia akan terlambat untuk sampai rumah. Ia kemudian menoleh ke samping melihat ada tukang roti bakar, mengingat mungkin kedua anaknya tengah kelaparan di rumah ia pun membeli dua roti bakar untuk Genan dan Naiya.

“Mang roti bakarnya dua.”

“Boleh Bu, kalau hujan seperti ini memang lebih enak makan yang hangat-hangat ya Bu,” ucap penjual roti bakar tersebut.

“Iya mang, padahal tadi cuaca terlihat cerah tapi kenapa tiba-tiba jadi mendung dan turun hujan. Hawanya juga terasa sangat dingin.” Ratni mengelus kedua tangannya karena embusan angin dingin melewatinya.

Selesai Ratni membeli roti bakar ia kebingungan karena hujan masih saja turun.

Ratni terpaksa menerobos hujan karena takut hujan tak kunjung reda, ia terus memikirkan kedua anaknya di rumah. Namun di tengah perjalanan motornya tiba-tiba mogok, tidak seperti biasanya tapi mungkin karena motornya sudah lama tidak ia periksa ke bengkel. “Bagaimana ini, anak-anak pasti akan menunggu aku lama.”

Dengan terpaksa Ratni mendorong motornya sampai bengkel yang lumayan agak jauh dari tempatnya, dengan penuh tenaga ia mendorong motornya bersamaan dengan hujan yang masih mengguyur deras. Matahari juga sudah tenggelam, Ratni juga tidak bisa menelepon Genan karena handphonenya sudah dari tadi mati karena habis baterai.

“Mungkin ini akan selesai antara dua hari Bu, bagaimana?” ucap tukang bengkel kepada Ratni.

“Ya sudah tidak apa-apa saya akan mengambil motor ini Kamis nanti, makasih ya pak!” Ratni pun pulang menggunakan angkutan umum. Menggosok kedua tangannya untuk mencari kehangatan di dalam perjalanan menuju rumah, tak lupa ia juga masih menjinjing roti bakar yang ia beli tadi.

Ratni membuka pintu rumah dengan perlahan, “Ibu pulang!” mulai melepaskan jas hujan lalu mencari handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah.

“Genan, Naiya?!” Ratni mencari kedua anaknya di kamar mereka namun tidak ada, ia panggil juga Genan dan Naiya tidak kunjung datang kepadanya.

“Ke mana anak-anak ini, Genan? Naiya, ibu pulang sayang. Ibu bawa roti bakar buat kalian terlihat masih hangat!” Ratni mulai pergi ke dapur untuk membuka roti bakar yang ia beli untuk kedua anaknya.

Kemudian ia pergi ke kamarnya, barang kali kedua anaknya tengah bersembunyi. “Genan, Naiya lihat ibu bawa apa pasti kalian lapar maaf ibu hari ini pulang terlambat. Banyak sekali gangguan di jalan.”

“Ibu, kenapa ibu harus bekerja?”tanya Genan.

“Kalau ibu gak bekerja siapa yang mau memberi makan kalian? Cukup, cukup ibu menyesal karena Genan tidak bisa melanjutkan sekolah.” Ratni mengusap kepala Genan yang ada di pangkuannya.

“Kalau nanti Genan sudah bekerja ibu jangan bekerja lagi ya, biarkan Genan yang selalu memberikan ibu makanan dan Naiya. Lalu biarkan Genan yang memberikan uang untuk Naiya sekolah, bukannya anak laki-laki pertama harus menggantikan tugas ayahnya ya.”

Ratni membuka lemari, bersiap-siap untuk menemukan kedua anaknya di dalam lemari.

“AAAAAaaaaa!”

“Genan sama Naiya anak ibu tersayang, semoga nanti kalian kalau sudah besar tidak melupakan ibu ya. Walaupun dengan keadaan yang serba kekurangan seperti ini, ibu mau kalian nanti bisa hidup sukses!”

“iya ibu, Naiya sayang sama ibu. Makasih karena sudah berjuang buat Bang Genan dan Naiya.”

Sakit hatinya seorang ibu yang menemukan anak-anaknya tengah berpelukan dengan berlumuran darah di badan dan kepala mereka, terlihat dari wajahnya mereka sangat ketakutan dan berharap bahwa ibu akan datang untuk menyelamatkan mereka.

Di hari yang tiba-tiba di guyur hujan seseorang datang  membobol pintu, dia berpakaian serba hitam.

Dengan pintar Genan sudah membawa adiknya pergi ke kamar ibunya untuk bersembunyi, memeluk Naiya dengan sangat erat dan berusaha untuk terlihat tidak panik, “ibu akan datang, sebentar lagi ibu akan pulang dan menyelamatkan kita,” bisik Genan pada Naiya.

“Naiya takut, Abang. Pria itu siapa? Dia memakai masker, apakah dia maling? Tapi kita di rumah tidak punya apa-apa.”

“Jangan bersuara!” Genan membekap mulut adiknya.

a Memorable MurderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang