『⑤』- Bintang

49 36 5
                                    

【✯】

“HAHAHA!”

Suara tawa terbahak-bahak terdengar dari mulut lelaki itu. Ia menutup setengah wajahnya—bagian dahi hingga mata—dengan tangan kanannya.

Meskipun begitu, kedua sudut mulutnya yang terangkat—sehingga menampakkan gigi dan bagian dalam mulutnya—terlihat karena tidak tertutup oleh telapak tangannya.

Entah untuk apa dia menggunakan tangannya untuk menutup matanya—bukan mulutnya. Apakah jika dia tertawa maka matanya akan berubah? Atau bola matanya hampir keluar dari matanya karena tertawa terlalu kencang?

“Stres,” ucap Arsha datar dengan ekspresinya yang juga datar.

“Bocah ini keren juga.” Lelaki itu menurunkan tangannya tanpa mengubah ekspresinya.

Satu kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu membuat mulutku terbuka lebar, kedua mataku terbelalak menatap lelaki itu.

Arsha mengangkat salah satu sudut mulutnya—tersenyum sombong. Arsha bangkit dari posisi duduknya, debu yang menyelimuti anak tangga menempel di celana abu-abunya.

“HAHAHA! BENER, KAN, APA KUBILANG?!” Arsha bersorai kegirangan sembari menunjuk lelaki itu. Ia membelah helaian rambutnya yang berantakan menggunakan tangan kanannya—tebar pesona. Telingaku rasanya ingin meledak mendengar teriakannya.

“Ya, ya ... kau menang, aku kalah.” Lelaki itu mengangkat kedua tangannya sembari terus tersenyum melihat tingkah Arsha. Arsha terus tersenyum layaknya orang mesum.

Ia mendekati sosok lelaki itu, lalu merangkul pundak lelaki itu dengan pergelangan tangan kanannya, kakinya bergetar karena berusaha untuk berjinjit setinggi mungkin agar menyeimbangi tinggi lelaki itu—yang lebih tinggi dari Arsha.

“Baguslah kalau kamu sadar diri. Aku ini memang hebat.” Bocah itu terus-menerus menyombongkan dirinya. Rasanya kepalan tanganku ini ingin kulayangkan ke wajahnya.

“Sha, mukamu ngeselin banget. Pengen tak cabik-cabik mukamu itu,” kesalku sembari menggertak gigiku.

Mendengar perkataanku itu, Arsha menurunkan tangannya dari pundak lelaki itu. Mata sipitnya yang dipicingkan menatap pupil mataku.

“Kamu, kok, jahat banget? Kamu mau cabik-cabik muka se-cute aku?” lirih Arsha sembari menatapku dengan matanya yang sipit. Ia berusaha menunjukkan wajah manis yang membuatku ingin mengeluarkan isi lambungku.

“Najis.” Aku menurunkan alisku sehingga mataku ikut menyipit.

“Kan, mukaku baby face,” ucap Arsha sembari menunjuk pipinya yang lembut dan putih seperti susu.

Baby face dugong, kali.”

Bocah ini menyebalkan. Tanganku gatal ingin membuang tubuhnya ke dalam parit, sehingga wajahnya yang seperti dugong itu dilumuri lumpur.

“Bagaimana kamu bisa tau?” Satu kalimat itu dilontarkan oleh sosok lelaki misterius itu. Kami memalingkan pandangan kami ke lelaki itu.

“Bagaimana kamu bisa tau bahwa aku bisa ngomong bahasa Indonesia? Padahal, alasan yang kamu sebutkan tadi, bukan alasan yang kuat.”

“Soalnya tadi kamu ngomong ‘Dua anak ini kesurupan roh apa?’, gitu,” jawab Arsha dengan wajahnya yang polos.

“Hah? Kapan aku berbicara seperti itu?” tanya lelaki itu kebingungan.

“Ada, deh,” ucap Arsha sembari mengangkat kedua pundaknya.

Mata lelaki itu terus menatap langit-langit, wajahnya terlihat bingung. Ia berusaha mengingat kapan dia mengucapkan hal semacam itu. Tangannya memegang dagunya, pandangan matanya tertuju pada langit-langit.

Gedung PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang