【✯】
Kami berpindah tempat di sebuah kamar yang berada di lantai yang tidak kami ketahui. Sekilas, aku melihat angka 1109 di pintu kamar ini barusan, dan juga vas berisi bunga daisy di dekat pintu.
Sumber cahaya di kamar ini hanyalah jendela yang menunjukkan pancaran sinar rembulan. Meskipun hanya itu sumber cahaya di sini, ruangan ini sama sekali tidak diselimuti kegelapan. Kamar ini memiliki dinding yang dicat berwarna putih. Di sudut ruangan, berdiri sebuah kasur beserta bantal dan selimut.
Terdapat meja dan kursi kayu yang masih bagus—seakan-akan tidak pernah di sentuh. Ada banyak barang yang tidak dapat kutemukan di kamar sebelumnya di sini.
Sebenarnya aku ingin bertanya mengenai kamar-kamar yang ada di sini kepada Zayn. Namun, saat kami tiba di kamar ini, Zayn pamit pergi sejenak dan berkata bahwa ia ingin mengambil sayur-sayuran untuk makan malam.
Kini di ruangan ini hanya ada aku dan Arsha.
Aku hanya diam terduduk di atas karpet berwarna cokelat dengan motif kotak-kotak yang menutupi lantai kayu. Sejak Zayn pergi, Arsha menjelajahi kamar ini. Dia mengutak-atik apa pun yang menarik perhatiannya.
Tangannya mengambil sebuah radio kecil berwarna cokelat—khas radio zaman dulu—dari meja kayu bulat di samping kasur. Saat radio itu telah berada di genggamannya. Arsha melemparkan dirinya sendiri ke kasur yang berada tepat di sampingnya.
Badannya menghadap lampu LED di atap yang tidak memancarkan cahayanya. Matanya menatap dengan tajam ke radio yang dia angkat ke langit-langit. Perlahan-lahan ia memejamkan matanya sembari memeluk radio itu.
Dalam beberapa detik, jiwanya telah berada di dunia mimpi—karena terdengar suara mendengkur yang cukup keras darinya. Dalam masa tidurnya, dia selalu mengangkat kedua sudut mulutnya. Sepertinya, dia sedang bermimpi indah.
Ceklik.
Pintu kamar di belakangku terbuka. Aku sontak menatap pintu yang telah terbuka lebar itu. Di depan pintu itu, Zayn sedang berdiri sembari membawa kotak yang cukup besar di kedua tangannya.
“Arsha tertidur?” Zayn meletakkan kotak besar itu di atas karpet.
“Iya. Dari tadi dia nggak bisa diam. Jadinya kecapekan gara-gara nge-tantrum.” Mataku menatap kotak besar yang ada di dekatku. Jari telunjukku menunjuk kotak itu sembari berkata, “Itu apa?”
“Oh, ini.” Dari kotak itu, Zayn mengeluarkan ranting pohon berukuran kecil, rumput kering, papan kayu, kentang dan ubi jalar. Dari mana dia mendapatkan semua ini? Apa dari kamar lain? Namun, kentang dan ubinya masih terlihat segar. “Makam malam.”
“Hah?”
“Oh, sorry. Maksudku ‘makan malam’,” ucap Zayn sembari terkekeh karena ucapannya sendiri.
“Kita makan apa?’
“Obat nyamuk,” jawabnya dengan datar. “Kamu punya mata, bukan? Menurutmu, apa yang ada di hadapanmu saat ini? Hutang?” Zayn menunjuk makanan yang berada tepat di depanku. Aku hanya nyengir sembari menggaruk kepala setelah mendengar ucapan Zayn.
“Ini kamarmu?” tanyaku penasaran.
“Bukan. Aku tidak punya kamar di sini.” jawabnya sembari mempersiapkan alat dan bahan yang ia bawa.
“Apa nggak apa-apa kita di sini?” Aku berpikir bahwa penghuni kamar ini akan marah.
“Tidak apa-apa. Lagi pula tidak ada makhluk yang memiliki akal di sini selain kita bertiga.”
Zayn mengambil kayu kering yang cukup panjang—berbentuk poros atau seperti anak panah—dan papan kayu. Papan kayu itu diletakkan di atas lantai—bukan di atas karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gedung Putih
Fantasy【✯】 Di mana aku? Kenapa aku ada di sini? Tempat ini terasa asing, dinding dengan cat berwarna putih ini membuat hatiku gelisah. Bagaimana caraku pulang? 【✯】 ◈ Note: ✵ Cerita (terpanjang) pertama yang saya tulis. ⇏ Maaf jika banyak kekurangan karena...