"Gem, gua capek banget asli, dari tadi muter-muter nyari kost-an. Udah panas, haus pula..."
Gempa berdecak kesal pada Duri yang selalu mengeluh sepanjang perjalanan. "Sabar dong! Lu kira gampang nyari kost di tanah rantau!" gerutu Gempa yang sama capeknya dengan Halilintar, namun tak kunjung menemukan kost-an yang tepat untuk tempat tinggal mereka.
"Kita makan dulu yuk di warung itu! Perut gua udah laper banget nih." Duri menarik-narik tangan Gempa ke sebuah warung sederhana. Gorengannya yang masih hangat tampak lezat dan membuat perut keroncongan, dekorasinya yang serba sederhana membuat siapapun merasa teduh saat melihatnya.
"Iya, nih. Gua juga laper banget. Ayo makan bentar." ajak Taufan yang juga sudah mulai kelaparan. Keenam saudara kembarnya pun mengangguk setuju.
Mereka melangkah menuju warung sederhana yang dimaksud oleh Duri. Seorang ibu-ibu pemilik warung pun membenarkan kacamatanya, lalu menyambut mereka semua dengan senyuman ramahnya. Tampaknya ia sudah cukup tua, namun wajahnya masih terlihat gembira. Mungkin sudah berusia 45 tahun, karena sudah ada beberapa kerutan di wajahnya. Ia memakai kerudung cokelat tua, dan daster putih berlengan panjang yang bercorak bunga.
"Eh, kalian. Mau makan apa nih disini? Atau mau nebeng Wi-Fi doang?" kekehnya. Gempa pun menarik ujung bibirnya dan tersenyum ramah pula pada sang ibu pemilik warung.
"Kami mau makan kok, Bu. Eh, kalian mau pesan apa?" tanya Gempa pada saudara-saudara kembarnya. "Nasi goreng aja, sama es teh." ucap Taufan. "Samain aja deh kayak Taufan." Saudara-saudara kembarnya yang lain berucap begitu dengan serentak.
"Ah- kalau begitu, saya juga ya. 7 piring nasi goreng, dan 7 gelas es teh." pesan Gempa. "Oke, sebentar ya. Kalian tunggu aja disini. Saya mau ke dapur dulu. Kalau mau, kalian bisa tuh nebeng Wi-Fi, sekalian nunggu pesenan." Ibu-ibu itu pergi ke dapur, dan membuatkan pesanan mereka bertujuh.
Ekor mata Blaze melirik kesana-kemari, dan menemukan sebuah benda yang ia cari. Ya, Wi-Fi gratis yang sudah dilengkapi oleh password di sampingnya. Ia menyenggol lengan Solar, seolah memberi kode bahwa ia ingin mabar.
"Mumpung ada Wi-Fi, Solar. Lu tahu sendiri, 'kan, kalau gua sering nggak ada data." kekeh Blaze. "Yeuh, elu mah doyannya yang gratisan. Iya dah, mau mabar apa?" tanya Solar. "ML aja, sekalian mau pushrank." Blaze membuka sebuah aplikasi bernama Mobile Legends di ponselnya.
Tak lama kemudian, ibu-ibu pemilik warung tadi menghampiri mereka dan memberikan pesanan mereka. "Terima kasih, ya, sudah berbelanja disini. Kalian pasti orang baru, ya?" Ibu berkerudung cokelat tua itu mencoba membuka topik pembicaraan agar mereka lebih akrab.
"Salam kenal, saya Jamilah Ulfasari, atau biasa dipanggil Mbok Milah. Kalian siapa? Coba kenalkan diri kalian satu-persatu, biar kita saling mengenal." ujarnya ramah.
Gempa berdehem sejenak, agar saudara-saudara kembarnya yang lain memperhatikan ucapan Mbok Milah. "Baiklah, kami memang pendatang disini, Mpok. Sebenarnya, kami berasal dari Pulau Rintis, namun merantau ke Kota Hilir untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi."
"Pertama-tama, saya yang akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Gempa Tri Adinata, atau bisa dipanggil Gempa. Saya adalah kakak tertua ketiga dari kami semua." ucapnya.
Mbok Milah menyipitkan matanya. "Wajah kalian mirip semua. Apa kalian kembar tujuh?" tanya Mbok Milah. "Iya, Mbok." jawab Gempa singkat.
"Saya Halilintar Eka Adinata, biasa dipanggil Halilintar. Anak pertama." ucap Halilintar yang duduk di samping Gempa.
"Saya Taufan Dwi Adinata, dipanggil Taufan. Anak kedua."
"Saya Blaze Catur Adinata, dipanggil Blaze. Anak keempat."
"Saya Ice Panca Adinata, dipanggil Ice. Anak kelima."
"Saya Duri Sat Adinata, dipanggil Duri. Anak keenam."
"Saya Solar Sapta Adinata, dipanggil Solar. Anak ketujuh."
Mbok Milah mendengarkan mereka dengan seksama, lalu manggut-manggut. "Adinata itu marga kalian, ya? Kok sama semua nama belakangnya." tanya Mbok Milah. Mereka bertujuh mengangguk secara bersamaan.
"Kalian ada keluarga disini? Kok berani merantau kesini." kekeh Mbok Milah. "Dulu, Ayah saya ada disini selama masa kecilnya, Mbok. Tapi, sekarang, Ayah sedang bekerja di luar Bumi. Ibu saya juga." jelas Gempa.
"Oh, kalian anaknya Amato dan Mara? Pahlawan bumi dan galaksi itu?" Mbok Milah mulai mengingat-ingat siapa ayah mereka bertujuh. "Ya, Mbok. Karena Atok kami sudah meninggal dunia, jadi kami sekalian pulang kampung kesini untuk mempelajari bisnis. Rencananya, kami akan meneruskan usaha Tok Aba." jawab Gempa.
"Baiklah. Tapi, apa kalian sudah punya tempat tinggal disini?" tanya Mbok Milah. "Belum, Mbok. Rumah yang dulu ditinggali Ayah sudah tak terawat dan banyak tumbuhan liar, jadi kami memutuskan untuk mencari tempat tinggal baru saja." ujar Gempa.
"Kebetulan sekali, suami saya juragan kost disini. Namanya Abah Agus, atau Pak Liu Zhen. Saya dengar, ada beberapa kamar kosong di kost-nya, karena beberapa dari mantan penghuninya sudah tak lagi menetap disini." Mbok Milah menawarkan kost-an untuk tempat tinggal mereka.
Mendengar perkataan Mbok Milah, mata Gempa berbinar seketika. "Benarkah? Kami boleh ngekost disana?" tanya Gempa.
Mbok Milah mengangguk. "Silakan. Nanti ikut saya ke rumah ya, kalian bayar uang kostnya ke suami saya."
Dari sinilah, teka-teki dimulai.
Bersambung.....
.
.
.
.
.Namanya diubah dari Kost Babeh Agus ke Kost Abah Agus. Dan alur ceritanya tetap sama dengan versi Fizzo dulu, dengan revisi di beberapa bagian (kalian akan tahu nanti).
KAMU SEDANG MEMBACA
Kost Abah Agus: BoEl [OG]
Mystery / ThrillerSekantong plastik hitam yang berbau busuk? Darah tercecer dimana-mana? Pisau yang tergeletak sembarangan? Suka keluar larut malam? Semua berawal dari kost-an yang lumayan murah tapi fasilitasnya lengkap, pemiliknya juga ramah, ya kost-an siapa lagi...