Mata Solar membulat sempurna. Ia berusaha melihatnya dengan lebih teliti— namun itu memang benar-benar potongan tangan manusia yang dipenuhi oleh bercak darah.
“Nggak mungkin... Kenapa ada disini? Apakah Andrew dan Diana adalah pasangan psikopat, yang suka menghabisi nyawa orang lain tanpa alasan? Ah, sungguh mengerikan.”
Solar segera memungut plastik besar itu, dan menuruni tangga. Pikirannya benar-benar kacau, ia begitu takut dengan darah yang terus menetes dari plastik yang dipegangnya.
“Yaa Allah... Harus kemana gua pergi, dengan plastik berisi sejuta teka-teki ini?”
Solar terus berlari, meskipun tak tahu dimana arah tujuannya untuk berhenti. Hingga, langkah kakinya terhenti pada sebuah tempat sepi, yang sepertinya memang seringkali dijadikan tempat penampung sampah warga disini.
“Buang disini aja kali ya? Gua udah nggak tau lagi harus kemana. Sebentar lagi ospek, gua bisa telat kalo kelamaan.”
Tanpa pikir panjang, Solar menghempaskan plastik besar itu ke tumpukan sampah lainnya yang berbau busuk. Sebenarnya, plastik yang dipegang Solar juga berbau busuk, namun lebih ke amis, seperti darah.
Solar berbalik badan, lalu lari terbirit-birit. Pikirannya antara takut dengan isi plastik yang ia buang dan takut terlambat ke kampus.
“Hei, jangan takut.”
Bisikan kecil yang tiba-tiba terdengar oleh telinga Solar, membuatnya kaget dan merinding. Tiba-tiba, ada tangan yang terasa memegang tangan Solar.
“Gua Cynthia. Udah, nggak usah takut. Muka lu jelek kalo lagi panik gitu.”
Solar mengernyitkan dahinya, lalu menoleh ke kanan. “Gua ganteng, nggak usah mancing deh.” protes Solar.
Cynthia terkikik geli. Anehnya, Cynthia tak lagi memakai hoodie seperti kemarin. Ia memakai sebuah gaun hitam berenda merah yang panjang, jepit bunga merah tua, dan sarung tangan putih. Penampilannya seperti perpaduan antara putri vampir dan noni Belanda.
“Lu tetangga kost gua yang kemarin, 'kan? Kenapa lu tiba-tiba berpenampilan heboh kayak tuan putri begini? Bukannya kemarin lu lebih ke cewek mamba yang sukanya pakai hoodie?” Solar mengamati Cynthia dari ujung kepala hingga ujung kaki, terkejut dengan perubahan drastisnya.
“Ya mana gua tau! Bangun-bangun udah jadi kayak princess nih gua. Ini gua aja masih belajar jalan biar gak keserimpet gaun!”
Solar tertawa lebar mendengar Cynthia yang menggerutu sebal karena kesulitan berjalan akibat gaunnya terlalu panjang. “Makanya, lain kali belajar jalan pake high heels biar nggak terlalu kaget.” kekeh Solar.
“Mana gua tau high heels high heels begitu. Gua pas hidup aja anak orang susah. Ah, kurang nyebelin apa sih kisah gua! Gua maunya jadi kaya yang banyak duit aja, bukan penampilan heboh kayak gini!”
Tawa Solar semakin pecah saat Cynthia tak berhenti memprotes penampilannya sendiri. “Udah ah. Lu pasrah aja. Ini masih mending lho daripada lu nggak pake baju sama sekali.”
“Sialan lu! Tapi ada benernya. Ya udah, gua cuma mau pesen doang, bilang ke dosen di UNEHI kalo gua udah innalillahi, biar kagak dicariin! Amit-amit kalo gua dikira bolos di acara ospek!”
“Yeuh. Iya iya, nanti gua sampein. Oh iya, sekalian, lu ada keluarga nggak? Nanti gua kabarin.” tawar Solar.
Seketika, kepala Cynthia tertunduk, ekspresinya tampak lesu. Kelihatannya, ia tak suka mendengar kata 'keluarga' yang baru saja dibahas oleh Solar.
“Kalaupun Ibu tahu gua udah nggak ada, apa dia bakal peduli sama gua? Apa dia bakal hadir di acara pemakaman gua? Apa dia bakal nabur bunga di makam gua? Apa dia bakal nyebut nama gua di setiap doanya?”
Solar pun terdiam. Ia merasa bersalah karena telah membuat Cynthia sedih, meskipun secara tidak sengaja.
“Maaf. Tapi, emang Ibu lu kemana?” tanya Solar dengan sangat pelan.
Cynthia menarik nafas dalam-dalam. “Dia udah bahagia sama selingkuhannya. Malah gua denger mereka udah punya anak. Nggak seharusnya gua ngeganggu kebahagiaan keluarga mereka, 'kan?”
“Lagian, kalo gua mati, gua nggak bakal kesepian. Gua bakal ketemu Ayah, yang udah mati juga. Gua bakal bahagia sama Ayah, soalnya Ayah baik, tapi sayangnya dia pergi terlalu cepat.” lirih Cynthia, perlahan tersenyum saat menyebutkan kata Ayah.
Solar semakin tercengang mendengar penjelasan Cynthia. Andai saja tadi mulutnya tak keceplosan mengucap keluarga, mungkin Cynthia tidak akan bersikap begini.
“Gua bakal berusaha bikin Ibu lu inget sama lu, Cyn.” lirih Solar, meskipun ia sendiri tak tahu apakah dirinya bisa menepati janji itu.
Cynthia terkekeh pelan. “Gua nggak yakin, tapi silakan mencoba kalo lu mau.”
Sosok Cynthia perlahan menghilang begitu saja, seolah terbawa hembusan angin. Solar hanya berdiri di tempat, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Jadi, selama ini, Cynthia terpisah dari Ibunya? Ibu macam apa itu? Meskipun gua jauh dari Ibu, seenggaknya Ibu jauh dari gua karena pekerjaan, bukan karena selingkuh.”
Solar kembali berjalan ke arah kost-an tempat tinggalnya. Ia melihat beberapa penghuni kost lain yang sepantarannya, sudah mulai berlalu-lalang dengan penampilan rapih, siap menjalani ospek di kampusnya masing-masing hari ini.
Di lantai 5, Solar melihat keenam saudaranya sudah siap berangkat ke kampus, begitupun Andrew dan Diana. Wajah mereka memancarkan semangat yang tinggi.
“Solar, lu darimana aja? Udah, buruan siap-siap sana! Mending kita yang ngabisin waktu lebih lama di kampus daripada telat datang ke kampus, apalagi ini baru acara ospek!” omel Gempa.
“Siap, Gem. Gua mandi dulu, ya. Tungguin gua, jangan kemana-mana dulu.” ujar Solar. Ia memasuki kamarnya, mengambil peralatan mandi, dan menuju ke toilet umum di lantai 5.
Tapi, ia kembali memperhatikan sesuatu yang aneh pada bagian bawah pot bunga dekat pintu kamar Andrew dan Diana.
“Bercak darah lagi?” Solar merinding melihat darah yang warnanya sama persis dengan warna darah yang ada dalam plastik berisi potongan tangan manusia dan sepertinya bagian-bagian lain tadi.
Tanpa disadari, ada juga seseorang yang diam-diam memperhatikan Solar.
“Gua tahu lu tahu semuanya, Sol. Kali ini, lu nggak akan selamat, sekalipun lu penghuni baru disini.”
Bersambung.....
.
.
.
.
.Double up, meski udah mendekati hari esok :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Kost Abah Agus: BoEl [OG]
Mystery / ThrillerSekantong plastik hitam yang berbau busuk? Darah tercecer dimana-mana? Pisau yang tergeletak sembarangan? Suka keluar larut malam? Semua berawal dari kost-an yang lumayan murah tapi fasilitasnya lengkap, pemiliknya juga ramah, ya kost-an siapa lagi...