Bab 1

200 12 4
                                    

Setelah mereka semua selesai makan, Gempa pun menyodorkan uang bayaran dari pesanan mereka. “Ini uangnya, Mbok.” ujarnya dengan sopan.

Mbok Milah menerima uang dari Gempa. “Terima kasih, Nak. Uangnya pas, ya.” Mbok Milah memasukkan beberapa lembar uang tersebut ke dalam dompet kecilnya. “Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan minta tolong pada saya, ya.”

Gempa mengangguk. “Oh, ya. Kami tertarik untuk tinggal di Kost milik Abah Agus. Ini sudah sore, tak mungkin kami ke rumah yang ditinggali Ayah dulu, karena sudah tak terawat dan sangat jauh dari sini. Bisa ditunjukkan dimana tempatnya, Mbok?” tanya Gempa.

Mbok Milah pun menoleh ke arah Gempa. “Ah, baiklah. Saya akan mengantar kalian kesana. Tempatnya tidak jauh dari sini, kok! Ada barang yang perlu saya bawakan?” tanya Mbok Milah. “Nggak perlu, Mbok. Kami bisa bawa barang-barang sendiri.” ujar Halilintar agar tidak merepotkan Mbok Milah.

Mbok Milah mengangguk dan bersiap menutup warung kecilnya. “Ya sudah, ayo ikut saya.” Mbok Milah keluar dari warung diikuti oleh mereka bertujuh, dan berjalan sekitar beberapa meter ke tempat tujuan mereka. Mungkin tidak butuh waktu 5 menit untuk sampai kesana.

Mbok Milah berhenti di sebuah bangunan besar dengan cat kuning muda yang memiliki 5 lantai. Ia berbalik badan, lalu tersenyum pada ketujuh anak kembar itu. “Disini tempatnya. Silakan masuk. Satpamnya lagi cuti kerja, katanya anaknya sakit di rumah. Kalian bisa manjat pagar, 'kan?” tanya Mbok Milah.

“Bisa kok, Mbok! Makasih ya udah nganter kami kesini.” Kali ini, Taufan yang menimpali. Sebenarnya Blaze dan Thorn ingin sekali memprotes, namun sudah didahului oleh Taufan yang menerima apa keadaannya.

“Saya tinggal dulu, ya. Saat ini, mungkin Abah masih keliling ke kamar-kamar anak kostnya. Masuk aja ke dalam, nanti juga ketemu.” ujar Mbok Milah. Solar mengacungkan kedua jempol tangannya, mengiyakan agar Mbok Milah tak terlalu risau dengan mereka.

Akhirnya, Mbok Milah melangkah pergi, hingga tak terlihat lagi. Tak lama kemudian, ada seorang bapak-bapak berkaos putih, berpeci hitam, dan sarung hijau bermotif kotak-kotak yang hampir melorot, menghampiri mereka dari dalam gerbang kost-an.

“Kalian siapa ya? Ada keperluan apa dan dengan siapa datang kesini?” tanyanya dengan senyuman ramah. “Kami berencana untuk ngekost disini. Apa Bapak yang bernama Abah Agus?” tanya Gempa.

“Ya, saya Abah Agus. Kalian sudah baca belum, poster terkait kost-an ini?” tanya Abah Agus. “Wah, dimana tuh? Kami belum baca.” sahut Solar. Abah Agus pun menunjuk ke sebuah poster yang dipasang di gerbang kost-an yang memang lumayan besar.

KOST ABAH AGUS

- 1 KAMAR UNTUK 1 ORANG
- UNTUK YANG BARU MAU NGEKOS, BISA DP 70% KEMUDIAN DILUNASI PADA AKHIR BULAN. SEDANGKAN UNTUK YANG SUDAH MENETAP DISINI LEBIH DARI 1 BULAN, HARUS DILUNASI PADA AKHIR BULAN. HANYA 300K!
- FASILITAS LENGKAP, AC DAN KULKAS SUDAH TERSEDIA, TOILET UMUM DAN DAPUR UMUM PER LANTAI.
- TERTARIK? AYO TINGGAL DISINI!

Tertanda,
Abah Agus
Juragan Kost Paling Ganteng Sedunia

Cuih! Masih gantengan gua!” cibir Solar dalam hati, meskipun sebenarnya sosok Abah Agus memang lumayan tampan sebagai bapak-bapak. Alisnya tebal, rahangnya tegas, matanya yang agak sipit namun memiliki tatapan setajam elang, dan tidak memiliki kumis ataupun jenggot. Wajahnya tampak seperti orang Cina. Hanya uban dan keriput saja yang menandakan bahwa beliau sudah tua. Mungkin jika dia berpenampilan rapih layaknya seorang pengusaha, kaum hawa berebut untuk menjadi sugar baby nya.

“Gimana? Apakah kalian sudah mantap untuk tinggal disini?” Abah Agus berdeham, mencoba memastikan. “Wah, sepertinya keinginan kami semakin mantap untuk tinggal disini, Abah. Ini, kami bayar ya.” Gempa mengeluarkan beberapa lembar uang kertas untuk diserahkan pada Abah Agus.

“Terima kasih. Saya bukakan dulu, kalian bisa pilih kamar di lantai teratas, alias lantai 5. Disana masih banyak kamar kosong.” ucap Abah Agus sambil membukakan pintu gerbang untuk ketujuh penghuni baru kost-nya itu.

“Sudah, ya. Saya tinggal dulu. Kalau butuh bantuan, kalian bisa datang ke rumah saya. Itu, rumah putih yang berhadapan dengan kost-an ini. Nggak jauh, 'kan?” kekeh Abah Agus sambil menunjuk sebuah rumah putih yang minimalis dan sederhana tapi terkesan elegan. Mereka bertujuh mengangguk.

“Iya, Abah. Terima kasih. Kami mau pilih-pilih kamar dulu. Assalamualaikum.” ujar Gempa. “Waalaikumussalam.” Abah Agus tersenyum sumringah, lalu mengunci gerbang kost dengan sebuah gembok.

***

Sesampainya di lantai 5, mereka bertujuh bertemu dengan seorang lelaki dan dua orang perempuan yang diperkirakan sepantaran dengan mereka. Ketiga orang tersebut tersenyum ramah, seolah menyambut mereka.

“Halo, gue Cynthia Anindita Atmajaya. Panggil aja Cynthia.” Seorang gadis memakai hoodie merah maroon dan berkuncir ekor kuda memulai obrolan. “Lu penghuni baru disini, ya?”

Gempa tersenyum kikuk. Ia memang siswa berprestasi, namun sangat jarang berinteraksi dengan lawan jenis, sehingga ada sedikit kecanggungan. Berbeda dengan Taufan yang sama dengannya, namun memiliki lebih banyak teman lawan jenis.

“Iya, nama gue Gempa. Eh, kalian kenalan juga dong!” kekeh Gempa agak gugup sambil menyenggol lengan Taufan. “Oh, iya. Gue Taufan. Yang bajunya merah gelap itu namanya Hali atau Halilintar. Yang bajunya merah-jingga itu Blaze. Yang bajunya biru muda itu Ice. Yang bajunya hijau itu Thorn. Dan yang bajunya kuning itu Solar.”

Cynthia terkekeh geli melihat kegugupan Gempa. “Lu nggak biasa lihat cewek, ya?” ledeknya. Tapi, punggung tangannya langsung dicubit gemas oleh lelaki disampingnya. “Aw!” lirihnya kesakitan.

“Nggak usah dipeduliin, ya! Dia emang agak suka ngeledek. Kenalin, gue Andreas Pratama Nugraha, panggil aja Andrew.” ujar lelaki yang berada di tengah-tengah antara Cynthia dan seorang gadis lain, ia memakai kaos abu-abu dan jaket hitam. Ia juga memakai kalung salib yang berada di lehernya.

“Oke, sekarang gue ya. Nama gue Diana Azzalea Dirgantara, panggil aja Diana.” kata seorang perempuan yang ada di sebelah kiri Andrew. “Kita tahu kalian datang kesini, soalnya tadi kami main di balkon. Dan kamar kosong hanya ada di lantai 5. Kebetulan sisa 7, pas lah buat kalian.”

Mereka bertujuh langsung pamit untuk memilih kamarnya masing-masing. Tanpa mereka sadari, ekor mata Andrew dan Diana melirik ke arah mereka.

Awas aja kalo kalian sampe tahu yang sebenarnya.

Bersambung.....

.
.
.
.
.

Maaf ges, harusnya bab ini dipublish kemarin, tapi kemarin baru dapet ide 300+ kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf ges, harusnya bab ini dipublish kemarin, tapi kemarin baru dapet ide 300+ kata. Karena lagi ujian, mungkin bakal agak lama up nya XD

Kost Abah Agus: BoEl [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang