Bab 5

102 8 0
                                    

"Hei! Kenapa kamu melamun saja dari tadi?! Kamu nggak niat dengar arahan saya?!"

Solar tersentak kaget dan meremas ujung kemejanya begitu mendengar suara ketua BEM yang begitu tegas dan lantang. Matanya terus mengawasi Solar dengan tatapan tajamnya, membuat Solar menggigit bibir bawah sembari memainkan ujung kukunya, merinding ketakutan. Kini, dirinya menjadi pusat perhatian hanya karena tak fokus mendengarkan.

"Suara saya sudah serak, tapi saya tetap mati-matian menjelaskan agar seluruh maba disini dapat mengikuti ospek dengan baik dan benar. Lalu kamu disini, dengan santainya malah tenggelam dalam pikiranmu sendiri, seakan memandang enteng keberadaan saya disini! Kalau memang dari awal kampus ini bukanlah tujuanmu mengenyam pendidikan, sebaiknya kamu tak perlu bersusah-payah untuk mengikuti kegiatan ini!" bentaknya lebih keras.

Keringat dingin sebiji jagung menetes dari dahi Solar, turun membasahi pipinya. Ia menatap balik ketua BEM dengan pandangan memohon, seluruh tubuhnya gemetar hebat bagai terkena guncangan gempa bumi. Perasaannya diisi oleh rasa takut, bingung, cemas, dan lain sebagainya, yang membuat kepala Solar terasa berat dan pusing.

"Maaf, Kak. Saya tidak bermaksud seperti itu." Solar mencoba menjelaskan perasaannya secara perlahan.

Lengkungan tipis pada bibir ketua BEM membentuk sebuah senyuman sinis. "Maaf? Semudah itu kamu meminta maaf? Kamu sudah dewasa. Saya pikir, kamu memiliki ketenangan yang lebih besar dalam menghadapi masalah dibanding saat kamu masih remaja. Kamu juga seharusnya punya keberanian besar untuk mepertanggungjawabkan perbuatanmu lebih dari sekedar ucapan maaf."

Nyali Solar menciut. Kepalanya terasa bising. Perasaannya semakin kacau. Nafasnya sedikit berat karena dadanya sesak. Hatinya dipenuhi ketakutan dan kebingungan.

"Yaa Allah... Tolonglah Hamba-Mu ini. Saya tak tahu langkah apa yang harus saya ambil untuk mengakhiri drama ini." Solar berpikir keras, berupaya mencari jalan keluar terbaik.

"Baiklah... Apa yang harus saya lakukan demi menebus kesalahan saya, Kak?" lirih Solar.

Ketua BEM yang garang itu terkekeh kecil. "Saya akan menjemur kamu di lapangan 2 sampai nanti istirahat. Tidak menerima penolakan dengan alasan apapun." ujarnya.

Solar bangkit dari tempatnya duduk, lalu berpindah ke lapangan 2 untuk melaksanakan perintah ketua BEM, meskipun menurutnya sedikit tak masuk akal. Ia bisa merasakan ngerinya ditatap sinis oleh ketua BEM, Hali, Gempa, dan beberapa maba lainnya. Namun, terdengar pula beberapa maba lain bersorak ramai memujanya. Siapa lagi kalau bukan kaum hawa yang terpesona dengan ketampanan Solar. Sisanya lagi diam saja karena lebih memperhatikan gerak-gerik sang ketua BEM.

Solar berdiri tegak disamping tiang bendera yang menjulang tinggi. Ia hanya bisa meneguk ludah karena malu dijadikan tontonan. Namun, berbeda dengan Hali dan Gempa, Taufan dan Duri justru menyemangatinya melalui bahasa isyarat. Mereka tak ingin Solar berkecil hati semasa kuliah hanya karena pernah dijemur saat ospek dan disaksikan oleh banyak orang.

Senyuman tipis perlahan menghiasi wajah Solar saat melihat Taufan dan Duri memberi isyarat padanya untuk tetap tenang dan semangat, meskipun hanya melalui bahasa isyarat karena setengah dari perhatian mereka terfokuskan pada omongan ketua BEM yang belum juga selesai.

Tiba-tiba, datang dua orang dari luar kampus, yang sepertinya juga maba disini. Setelah diamati lebih teliti lagi oleh Solar, oh- itu Andrew dan Diana!

Solar tampak lebih panik dari sebelumnya. Ia benar-benar trauma menyaksikan kejadian semalam, dan dengan penuh ketenangan, mereka tetap bisa memasang wajah ceria tanpa beban, bahkan setelah menyiksa seseorang habis-habisan. Suara teriakan Cynthia masih terus membayangi pikiran Solar, membuatnya semakin gelisah.

"Tch, manusia-manusia psikopat itu! Bisa-bisanya mereka masih tersenyum setelah ngebunuh Cynthia. Nggak, gua nggak boleh ramah sama mereka. Mereka nggak punya hati!" Solar menatap nyalang kearah mereka berdua tanpa ada seorangpun yang menyadarinya.

Bayangan Cynthia dengan gaun panjangnya kembali muncul dalam pandangan Solar. Matanya tampak berkaca-kaca, seakan hendak mengeluarkan air mata. Tak sebagus sebelumnya, gaun Cynthia terdapat banyak robekan dan bercak darah. Wajahnya luka-luka seperti korban kekerasan yang berulang kali dianiaya.

"Solar... Tolong gua... Gua mohon... Ini sakit banget..."

Mendengar bisikan itu, Solar sangat merasa bersalah. Ia hanya mampu menyaksikan tragedi semalam dengan kedua matanya, namun ragu untuk menyelamatkan nyawa Cynthia.

"Maafin gua, Cyn. Nyali gua terlalu ciut waktu itu- Gua emang terlalu pengecut untuk disebut sebagai seorang laki-laki." Solar mengulurkan tangannya, hendak memeluk erat Cynthia, sayangnya Cynthia kini hanyalah hantu yang tak dapat disentuh oleh tangan manusia.

"Kalo soal keselamatan gua, itu udah terlambat untuk disesali, Sol. Mending lu cari cara supaya nggak ada lagi orang yang tewas di tangan mereka. Gua nggak mau ada lagi yang bernasib sama kayak gua. Dikhianati teman terdekat kita sendiri itu sakit banget." Cynthia memaksakan bibirnya untuk membentuk senyuman, dan menatap lembut netra silver milik Solar.

Solar menunduk malu. "Nyelametin nyawa lu aja, gua gagal, Cyn. Lu yakin, gua bisa ngelindungin yang lain? Gimana kalo gua gagal lagi?"

Cynthia masih tetap tersenyum. "Lakuin aja yang terbaik. Gua percaya sama lu. Semangat, lu pasti kuat. Lu juga nggak mau kehilangan kakak-kakak lu, 'kan?" ujar Cynthia tetap optimis.

Solar kembali mengangkat kepalanya, menatap mata Cynthia. "Lu ada benernya, Cyn. Gua nggak mau mereka mati di tangan mereka berdua." lirih Solar.

Tiba-tiba, bayangan Cynthia hilang begitu saja, terbawa angin yang bertiup kencang. Kembali terdengar suara ketua BEM yang memarahi maba lainnya.

"Kalian saya hukum berjemur di lapangan 2, ya! Sudah satu jam lebih kalian terlambat datang! Kalian sama sekali tak tahu bagaimana caranya menghargai waktu!" protesnya berapi-api.

Andrew membungkukkan badannya. "Maafkan kami, Kak. Kami akan segera menjalankan hukuman yang Kakak berikan." ujarnya santun. Ia menarik tangan Diana untuk berjemur disamping Solar.

Pandangan Andrew dan Solar saling bertemu. Solar memasang ekspresi datar meskipun panik setengah mati, sedangkan Andrew mengangkat alis dan menatap sinis.

"Awas aja lu, kalau sampe jadi penghalang buat gua." ancamnya pelan.

Bersambung.....

.
.
.
.
.

vote yaaw^^ tablet ku lola bngt awoakwoakokw, jadi jangan heran kalo gambar yang biasanya nggak muncul.

Kost Abah Agus: BoEl [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang