Lembar Ketiga

300 40 2
                                    

Selesai kelas pertama, Jiro melipir ke kantin. Perutnya merongrong sejak dua puluh menit lalu, padahal sudah sarapan berat.

Kakinya menapak dipelataran kantin, memilih menu yang beragam disetiap stan. Memperhatikan setiap masakan yang tersaji secara prasmanan. Jiro mengambil beberapa sayur dan sepotong ayam tepung. Membayar semua pesanan lalu berbalik memperhatikan semua kursi yang sudah penuh itu. Dia melirik ke sana kemari, mencari barang satu celah saja untuk menampungnya duduk dan menghabiskan makanan sebelum kelas ke dua dimulai. Namun sejauh mata memandang, Jiro tetap tidak menemukan satu kursi pun yang kosong.

Bahunya merosot, kalau seperti ini di mana dia harus duduk? Berpikir sejenak sampai pundaknya ditepuk seseorang, membuat Jiro menoleh. Thomas berdiri di sana, menatapnya seperti biasa lalu tanpa berkata apa-apa dia tarik pelan lengan yang memegang sebotol minuman itu untuk mengikutinya ke bagian selatan paling pojok kantin. Ada meja kecil di sana, muat menampung dua orang, yang menyenangkannya lagi kursi tersebut kosong—tidak—mungkin lebih tepatnya kursi tersebut sudah ditandai oleh Thomas, terlihat dari tasnya yang diletakkan di atas meja.

"Duduk." Thomas hanya mengeluarkan satu kata itu saja lalu dia duduk duluan di salah satu kursi. Sedangkan Jiro masih sempat menimbangkan tawaran tersebut. Manusia gengsian ini sangat keras kepala, lihat bagaimana dia terus menengok ke berbagai arah untuk mencari tempat duduk yang kosong. Tidak ingin menjatuhkan harga diri sebab ditawari lawan sejak SMP nya itu dengan kebaikan.

"Nggak ada tempat kosong lagi, Jiro. Ini satu-satunya. Duduk."

Jiro sempat mendengus mendengar perintah mutlak itu. Menggeser kursi lalu duduk dengan segenap rasa berat di sana. Wajahnya ditekuk, menyuapkan makanan dengan kasar. Thomas di hadapannya tidak peduli, laki-laki itu sibuk dengan urusannya sendiri, mengabaikan Jiro yang sesekali mencibirnya secara terang-terangan dengan ekspresi. Dia sebal sebab egonya terus menerus dikalahkan.

"Eh, lo ngapain ke kampus gue?"

Jiro baru tersadar bahwa Thomas bukanlah salah satu mahasiswa kampusnya. Anak itu jelas orang asing yang masuk tanpa permisi ke wilayah orang lain.

"Kata orang makanan di sini enak, jadi gue mau cobain. Kenapa? Nggak boleh?"

Jiro ingin sekali melempari Thomas dengan sayur di piringnya. Tapi hal itu urung ia lakukan, Jiro masih waras untuk tidak menempatkan diri dalam situasi yang akan membuatnya malu dan kemudian mendadak viral.

"Tapi lo nggak beli makanan tuh? Cuma es jeruk."

Thomas yang sejak tadi terus mengerjakan sesuatu di ipadnya kini menutup benda itu. Beralih menatap lurus pada Jiro yang juga menatapnya tak mau kalah. Tangan yang lebih tua bergerak gesit merampas sendok Jiro, mengambil sesuap nasi dan sayur yang ada di piring itu kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya. Tindakan Thomas jelas mebuat Jiro terkejut, laki-laki itu melotot lalu merampas balik sendoknya dari tangan Thomas.

"Apaan sih! Nggak sopan banget ngambil makanan orang!" Seruan nyaringnya mengundang beberapa pasang mata, namun tidak bertahan lama setelah Jiro menyadari lalu memberi gestur 'maaf' dan kembali menatap Thomas dengan nyalang.

Sementara disoroti pandangan tidak suka dari laki-laki manis di depannya, Thomas hanya memberi senyum sambil mengunyah lalu mengangguk.

"Em... beneran enak ternyata."

Komentar itu semakin membuat Jiro sebal. Nafsu makannya hilang seketika, Jiro tidak bisa lagi menelan makanannya akibat rasa kesal yang menyerang tiba-tiba. Thomas memang pandai membuatnya naik darah. Laki-laki itu kembali berkutat dengan urusannya seolah tidak melakukan hal buruk sebelumnya. Jiro tidak lagi melanjutkan makannya, laki-laki itu hanya menghabiskan sebotol minumnya lalu pergi dari sana, mengabaikan Thomas yang berkata akan menunggunya sampai jam kelas kedua selesai.

Room MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang