Lembar Kelima

267 32 5
                                    

Jiro benar-benar menginap di kost Teetee berbaring menghadap langit-langit sedangkan yang punya kamar sudah larut ke alam mimpi. Jiro tidak tahu kenapa dia masih terjaga di jam segini tapi yang pasti sekarang Jiro hanya memikirkan untuk apa Thomas mampir ke kost Teetee, oh salah dia bilang tadi lewat. Tapi, setahu Jiro di sekitar sini tidak ada lapangan basket? Atau memang Jiro yang tidak tahu?

Jiro membuyarkan pikiran panjangnya sendiri, membuat semua asumsinya lenyap dalam satu gelengan keras, lalu laki-laki itu menarik selimutnya sampai memakan seluruh tubuhnya, dia memaksa untuk tidur atau besok tidak bisa bangun di jam 6 pagi untuk kelas pertama. Namun sekeras dia memejamkan mata maka sekeras itu pula kantuk tak ingin menemuinya. Jiro benar-benar terjaga sampai pagi. Lagi-lagi harus mendapati kantung mata yang sudah menghitam sebelum berangkat ke kampus dan terus ditertawakan Teetee.

Nasibnya tidak lebih baik dari seekor kucing yang tersesat ditengah hujan.

Jiro membiarkan penampilan acak-acakannya pagi ini. Anggap saja malam tadi dia sedang mengerjakan tugas sampai kurang tidur. Teetee baru datang dari luar, membawa tiga bungkus bubur lalu mengajak Jiro untuk sarapan bersama. Yang tidak ia mengerti adalah kenapa bubur itu ada tiga bungkus sedangkan mereka hanya berdua. Apa Teetee senafsu itu menghabiskan dua porsi sekaligus di pagi hari?

Belum sempat ia menanyakan hal mengherankan itu, pintu kamar Teetee sudah terbuka, menampilkan sosok jangkung yang kini sudah melepas jaketnya lalu meletakkan benda itu di kursi belajar Teetee. Jiro tercengang, cukup membuatnya shock pagi ini. Thomas dengan segala tindak mengejutkannya selalu berhasil membuat Jiro pusing.

"Ngapain ke sini?" Jiro bertanya tanpa sadar. Membuat Teetee yang sejak tadi sudah menyuap buburnya mendongak ikut melihat siapa yang Jiro ajak bicara. Sedangkan Thomas hanya ikut duduk lesehan bersama dua adik tingkatnya itu.

"Sarapan." Thomas menjawab santai sambil menarik satu porsi bubur yang masih tersegel. Jiro otomatis menoleh pada temannya yang kini diam-diam menghindari pandangan, berpura-pura sibuk dengan adukan bubur di tangan, membiarkan Jiro kesal dengannya mungkin sampai dua hari ke depan.

"Tee..." gumam tajam itu membuat Teetee tersenyum tanpa rasa bersalah. Mau memarahi pun rasanya sudah sangat terlambat.

"Udah makan aja, jangan lupa bilang makasih ke bang Thomas, soalnya dia yang beliin."

Oh bagus, setiap hari egonya semakin di injak-injak.

*

"Gue anter aja."

"Nggak. Gue berangkat sama Teetee."

Sudah lima menit dua laki-lali itu berdebat setelah ditinggal Teetee membuang sampah bekas mereka makan. Beradu argumen yang tidak penting selagi Teetee belum datang. Seperti biasa, tidak ada yang mau mengalah dengan mudah. Keduanya seperti permainan tarik tambang, Jiro keras kepala dan Thomas yang suka memaksa.

Suasana kamar terasa semakin gelap ketika Teetee melewati pintu kayu bercat coklat itu. Suhu air conditioner yang ia turunkan bahkan tidak mampu menghangat akibat tekanan dingin sikap antara Jiro dan Thomas yang duduk di ujung sudut. Berkelahi dengan situasi yang menegangkan membuat Teetee mati kepusingan, dia tidak tahu harus berbuat apa selain menginterupsi keduanya dengan pertanyaan kecil pada Jiro.

"Lo mau berangkat jam berapa? Kita ada kelas pagi."

Jiro menoleh dengan tampang yang tidak bisa dilawan, laki-laki itu jelas nyalang mengobarkan kemarahan pada Teetee yang sayangnya belumpadam sejak kehadiran Thomas di kamarnya.

Room MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang