05. Kangen ya?

484 63 39
                                    

***

SEBELUMNYA sudah pernah melihat Bella. Perempuan itu tidak hanya berparas cantik tetapi juga terlihat cerdas. Kia cukup kagum saat pertama kali bertemu. Namun untuk saat ini bukan hal semacam itu yang ada dalam pikiran Kia, melainkan saat melihat kotak makan yang Bella bawa. Apakah itu dibawa untuk Fere?


“Saya permisi Pak, Bu” pamit Kia dengan sopan. Ia tidak mau lama-lama berada di sini karena mungkin kehadirannya akan mengganggu.

“Kok ngobrolnya di depan pintu?” heran Bella.
“Kebetulan aku  juga mau keluar”

“Sibuk?”
“Lumayan”

Bella mengulurkan tempat makan yang ia bawa. “Simpan untuk nanti”
“Bukannya tadi sudah makan siang?”
“Itu bukan untuk makan siang, nanti lihat saja sendiri”

Fere tersenyum. Sekilas itu mengingatkannya akan Kia. Dulu Kia selalu menyiapkan bekal untuknya dan spesialnya bekal itu selalu hangat karena Kia mengantarnya saat mendekati jam makan siang. Selain itu Kia juga sering membuat camilan sebagai teman minum kopi untuknya.
“Repot-repot segala”
“Soalnya kamu pasti masih jarang sarapan, iya kan?”

Sebenarnya, Kia belum sepenuhnya pergi. Ia sedikit menepi dan bersembunyi. Perempuan itu bahkan tau jika Fere tidak bisa sarapan. Seharusnya ini jadi hal yang melegakan karena ada seorang yang memperhatikan Fere, ia tidak perlu cemas untuk seterusnya. Namun anehnya itu justru membuat Kia merasa tidak rela?


***



Kia mengaduh saat sebelah punggung tangannya terkena air panas dari dispenser. Hal itu terjadi karena ia melamun saat hendak menyeduh kopi. Punggung tangannya seperti terbakar dan perih di saat yang bersamaan. Jika ini bukan kantor, mungkin Kia tidak akan menahan air matanya.

“Dicuci”

Kia kenal suara itu. Dan ia tidak menyangka jika sama sepertinya, Fere juga lembur malam ini.
Lelaki itu mendekat dan membimbing Kia menuju wastafel. Bahkan Fere-lah yang mencuci tangan Kia, menahannya supaya tetap terkena aliran air untuk beberapa saat.

“Kamu keringin dulu, biar aku cari obatnya”
Setelahnya Fere tampak cekatan mengambil kotak obat yang memang tersedia di dapur. Ia menemukan salep luka dan mengoleskannya pada punggung tangan Kia dengan hati-hati.

Kia bisa melakukannya sendiri dan menolak bantuan Fere tapi sayangnya perasaannya tidak bisa dibohongi. Fere selalu membuatnya merasa butuh dilindungi.

“Masih perih?” tanya Fere setelah beberapa kali meniup luka Kia. Ia cemas karena melihat sepasang bola mata Kia yang berair.
“Sedikit”

“Nangis aja kalau sakit, nggak cuma anak kecil aja yang boleh nangis”
Perkataan Fere itu membuat setetes air mata Kia lolos. Mungkin Fere kira ia menangis karena lukanya terasa perih padahal ia menangis karena lelaki itu.

“Ki kok lama banget sih – eh” ucapan Gita menggantung saat menemukan Kia yang sedang mengusap air matanya, selain itu Fere juga ada di sana.

“Saya permisi” pamit Fere.

“Ki, lo abis dimarahin Pak Fere ya?”
“Tangan kena air panas”
“Terus lo nangis di depan Pak Fere? Sakit sih sakit Ki, tapi pencitraan dikit kek” heran Gita. Baginya tetap aneh, seorang Kia bisa menangis di depan atasan, padahal yang ia tau Kia selalu ingin pekerjaannya terlihat sempurna.



***


Dari tempatnya sekarang, Kia bisa melihat Fere. Lelaki itu masih berada di ruangannya. Di tangannya, Kia sudah membawa secangkir kopi namun ia setengah ragu.

Kira-kira bagaimana reaksi Fere saat melihatnya masuk membawa secangkir kopi?

Kia berbalik tapi kemudian berbalik lagi. Fere sudah menolongnya dan kopi ini adalah satu-satunya ucapan terima kasih yang bisa ia berikan.
Pintu ruangan Fere diketuk sekali oleh Kia.

Fere yang ada di dalam, sempat terpaku melihat bayangan yang ada di balik pintu kaca. Apa mungkin itu Kia?

“Masuk”
Dan seorang itu benar-benar Kia. Sejak tadi ia memikirkan bagaimana keadaan Kia, apa lukanya sesakit itu sampai-sampai Kia menangis. Ia ingin menemani Kia lebih lama tapi keadaan membuatnya harus pergi dari dapur.

“Kenapa? Maksudku ada apa?” tanya Fere.
“Nggak ada apa-apa. Mau kopi?”

Kia baru saja menawarkan dan sedetik kemudian ia menyadari jika di meja Fere sudah ada cangkir kopi yang isinya tinggal setengah. Sepertinya ia menawarkan sesuatu yang salah, seharusnya tadi ia mencarikan camilan untuk teman minum kopi.

“Oh, yasudah-“
“Aku mau”
Ucapan Fere jelas membuat Kia terkejut, ia tau kapasitas Fere untuk minum kopi tidak sebanyak itu. Kia meletakkan cangkir itu di hadapan Fere.

“Kenapa?”
“Nanti kembung kalau banyak minum kopi” ucap Kia mengingatkan. Fere tidak bisa minum kopi terlalu banyak apalagi kopi yang tidak diseduh dengan air yang cukup panas. Jika lelaki itu pulang, mengeluh kembung lalu muntah-muntah, alasannya pasti karena tidak bisa menolak kopi yang ditawarkan orang lain.

“Setidaknya aku nggak pernah muntah-muntah waktu di kantor”
“Tapi di rumah, iya kan?”

Fere tertawa kecil. Kia seperti sedang mengomel padanya, persis seperti dulu.

“Terima kasih Ki” ucap Fere, tulus. Ia merindukan semua yang pernah Kia buatkan untuknya lebih dari apapun. Bahkan rasa seperti secangkir kopi buatan Kia, tidak bisa ia temukan di manapun.

“Aku yang terima kasih, semangat kerjanya”

Dear, My Ex Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang