02. Kembali Pulang

27 4 3
                                    

Brum.. Brum

Deru moror CBR milik regan menggema di parkiran rumahnya. Ia melepas helmnya kemudian masuk kerumah. Namun dihalaman rumah, sudah ada varen yang menunggu kakanya pulang.

"Aelah bang ngegas banget tu motor, mentang-mentang bentar lagi lu mau kawin." Celutuk varen sembari bersandar didinding halaman melipat dadanya.

Regan, pria yang mempunyai rahang tegas dan alis tebal itu menyorot malas ke arah adik keduanya.

"Paan si, lo." Ujarnya sembari melempar helm yang ada ditangannya. Varen  gelabakan langsung menangkap helm kakanya.

"Huh.. Untung gua pemain basket profesional." Ia tersenyun bangga.

"Mana mama sama papa?"

"Noh didalem nungguin lo bang, dibilang lo mau nikah bentar lagi, asik si gue bentar lagi punya kaka ipa-"

"Berisik, lo!" Ucapan varen teropotong saat regan kembali melemparkan jaketnya kemuka adiknya, kemudian langsung berlalu untuk masuk.

Varen mengumpat, dikira dia rak sampai helm sama jaket regan ada ditubuhnya.

"Dasar kaka psikopat!" Teriaknya tak diihiraukan oleh regan yang sudah masuk kerumah.

Kedua orang tuanya sudah menunggu pria tampan itu di sofa ruang tamu. Halima berdiri memeluk anaknya itu menguapkan rasa rindunya, ia juga mengetuk kepala anaknya karena kesal akan tingkahnya yang belum berubah sama sekali.

"Aw... Sakit ma." Ucapnya pelan memegangi dahinya.

"Siapa suruh kamu pergi seolah tidak mempunyai orang tua lagi!" Ia berkata dengan nada yang mengomel.

Regan hanya menggaruk tengkuknya kemudian duduk berseberangan dengan papanya. Ia menatap pria paruh baya itu dengan selidik, sebagaimana yang dikatakan varen, pasti ada rencana yang dibuat orang tuanya untuk dirinya.

"Regan, umur kamu sudah 19 tahun, kamu itu bukan anak dibawah umur lagi, bukan remaja 17 tahun yang keluyuran kesana kemari." Bram berkata tenang.

"Regan ga keluyuran seperti yang papa bilang, regan hanya menyukai waktu dimana regan sendirian." Regan menampik pernyataan papanya.

"Menyukai waktu sendirian mengurus mayat-mayat itu kan?" Suara bram agak meninggi.

Regan menyeringai. "Gimana lagi, pah. Itu hoby regan."

Pak...

Bram menapak meja didepannya, halima bergegas kesisi suaminya untuk menenangkannya.

"HOBY KAMU BILANG! HAH? HILANGKAN KEBIASAAN GILA KAMU ITU, REGAN! SELAMA INI PAPA TIDAK MELARANG KAMU UNTUK MELAKUKAN HAL ITU, TAPI INI SUDAH KETERLALUAN, LEBIH DARI SEMINGGU KAMU MENGHILANG HINGGA PIHAK SEKOLAH MENGUBUNGI PAPA KARENA ULAH KAMU! JANGAN MENCEMARKAN NAMA BAIK PAPA,REGAN SAMUDRA!" pria paruhbaya ini akhirnya melampiaskan emosinya, ia berdiri sambil menunjuk kearah anak sulungny a ini, sementara regan menarik nafas tenang mendengar amarah papanya.

"PAPA LIAT DIBERITA BAHWA DUA ORANG MENGHILANG DITEBING SEKITAR KAMU TINGGAL, PAPA TAU ITU ULAH KAMU, SUDAH BERAPA KALI PAPA BILANG, JANGAN SAMPAI MEMBUNUH NYAWA YANG TIDAK BERSALAH!" Teriak bram lagi, dadanya naik turun menghadapi regan.

"Mereka bersalah, pah." Regan berkata tenang sambil mendongak menatap papanya. Bram terkejut akan penuturan anaknya, walaupun regan berkelakuan seperti iblis, namun pria ini menjunjung kejujuran.

Halima yang meliat suaminya hampir kehabisan nafas karena marah, mencoba menenangkannya.

"Pah, mungkin orang-orang itu memang penjahat sehingga memaksa regan melakukan itu." Ucapnya.

Tebing Samudra (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang