|7|

118 19 2
                                    

Aku berjalan sembari melompat-lompat, berjalan menuju pulang kerumah dengan tangan kanan memegangi sebuah kantong plastik berisi barang yang ku beli diwarung.

Sebelumnya Papa menyuruhku untuk membeli kecap dan terigu di warung depan, jika ada sisanya aku diperbolehkan jajan sepuasnya atau pergi bermain.

Perumahan ini sebetulnya tidak terlalu elit, biasa-biasa saja. Hanya saja mungkin rapih, terata, teratur dan lingkungan nya yang bersih. Yang paling menonjol adalah Rumah Papa yang begitu besarnya layak di sebut Mansion, rumah idaman bagi orang-orang termasuk juga dengan ku. Rumah Idaman ku nanti jika sudah besar.

Tapi yang membuatku heran, rumah sebesar itu hanya di huni oleh dua orang. Terutama pada hari Minggu, Papa pasti lelah sekali bersih-bersih rumah sebesar itu. Aku mungkin membantu tapi yang ringan-ringan saja, seperti membersihkan debu dengan kemoceng bagian meja, kursi, jendela atau belajar mencuci piring ku sendiri diawasi oleh Papa.

Sejujurnya, sudah satu Minggu tinggal disini aku belum paham siapa nama tetangga yang ada disini apalagi 'teman' dimaksud oleh papa. Aku tidak tahu siapa nama teman yang ada perumahan ini.

Saat ini sebelum tujuanku akan bermain atau mencoba berkeliling untuk mengetahui jalan disetiap perumahan segeralah pulang terlebih dahulu untuk mengantarkan barang yang dibeli kepada papa lalu kembali pergi.

“Aku pulang!” Salam ku sembari melepaskan sandal lalu masuk kedalam.

“Selamat datang nak” sahut Papa yang langsung datang menghampiri.

Kebetulan ada Papa didepan yang mana kemudian menyodorkan kantong plastik.

Pria itu memeriksanya yang mungkin saja barangkali aku salah membeli kecap dan terigu. Tenang saja, aku tidak akan salah membeli meski memang kadang-kadang suka salah sih. Aku tidak mau Papa sama seperti kedua orang tua ku, sama-sama berkata kasar.

Aku sudah terbiasa dengan tutur kata lembut nan halus dari nya, Papa ku yang penyayang melontarkan setiap kalimat manis dan memberi kecupan singkat, entah di pipi kanan kiri atau di dahi.

Sedangkan kedua orang tua ku, meski sakit hingga sanggup membuatku menangis tapi kalimat menyakitkan itu menjadi ciri khas mereka sehingga sudah menjadi kebiasaan. Justru sebaliknya, rasanya jijik dan tak nyaman dari mulut mereka yang sudah biasa berkata kasar.

“Anak Papa pintar ya” Papa pada akhirnya memuji. “Nah, Helena boleh main sekarang” kemudian ia mengizinkan ku untuk bermain bersama teman-teman.

Senyumku sumringah, aku membungkukkan badan,“terimakasih Papa!” Aku senang jika Papa mengizinkan ku bermain.

Segeralah aku memakai sandal ku kembali dan melambaikan tangan kearah Papa, “papa Helena pergi main dulu ya!! Dadah papa!!” Sudah menjauh dan keluar dari pagar, dengan suara cemprengku sedikit berteriak pamit untuk pergi kearah Papa.

Tadi itu pemandangan yang barusan membuatku takjub. Bagaimana tidak? Pria itu memakai kaos tanpa lengan ketat menunjukan otot-ototnya dari hasil kerja keras selama ini. Lengan nya yang berotot, dada nya yang besar mengalahkan payudara perempuan. Pria sempurna nan sexy.

Apakah ia mantan Binaragawan atau petinju.

Yang membuatku heran kenapa Papa tidak menikah lagi, bukankah Papa itu banyak yang suka apalagi dia tergolong sempurna. Badan ideal, wajah tampan, jabatan tertinggi dalam kasta perusahaan, baik hati dan terdapat nilai plus baginya tersendiri.

Jadi sebetulnya siapa Mama ku yang disini.

Aku berjalan memutar. Aku ingin tahu bagaimana kondisi perumahan disini, apakah perumahan disini sama besarnya dengan rumah punya ayah?

PAPA {HANEISHI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang