|2|

114 19 1
                                    

Berbicara pada diri sendiri. Apa aku sudah gila. Aku menjelaskan nya pada siapa? Tidak ada orang yang mau mendengar penjelasan ku dan siapa yang ku maksud 'kalian'.

Saat ini posisi sedang pulang sekolah, sendirian tidak ada siapa pun di kelas maupun di lorong yang sunyi terkecuali aku sendirian yang berjalan menuju anak tangga.

Jam menunjukkan angka tiga dari ponsel, padahal tadi sudah ku mintai jemput tapi Mamah tidak kunjung datang untuk menjemput. Apa Mama masih dalam perjalanan atau ponsel Mama yang tidak aktif saat dihubungi jadi belum menjemput juga.

Ini baru pertamakalinya, teman-teman sudah pulang lebih dulu, ada yang sudah dijemput ada juga yang pulang membawa kendaraan sendiri. Niat ku ingin duduk di depan agar terlihat jelas bahwa Mama sudah datang siap menjemput tapi rasanya malas saja.

Biasanya Mama memberitahu kalau sudah sampai disekolah, jarak dari kelas dan menuju ke depan itu jauh apalagi harus menunggu lagi. Itu membuat ku lelah.

Aku lebih suka menunggu didalam kelas atau sesekali keluar dalam kelas menikmati udara segar, melihat pemandangan dari lantai atas serta langit biru yang mempesona. Burung-burung terbang bebas maupun burung yang hinggap diatas atap.

Memang tidak ada spesialnya sama sekali, tapi bagiku ini sungguh langit biru cerah dengan awan putih setipis kapas.

Ini ketenangan dan kedamaian yang sesungguhnya, sunyi dan senyap hanya hembusan angin menerpa suraiku yang panjang. Kedua netra memfokuskan menatap langit hingga tak sadar tubuhku mencondong kedepan hingga terjatuh dari ketinggian dua puluh meter gedung sekolah.

Aku jelas berteriak minta tolong akan tetapi nihil tidak ada yang mendengar suaraku. Mungkin ini terakhir kalinya aku berada di dunia ini dengan kematian yang disebabkan oleh kecerobohan ku sendiri.

Air mata mengalir membanjiri kedua pipi tirusku, mungkin hanya hitungan lima detik tubuh ku menghantam keras tanah. Sakit sekali, kepalaku terbentur keras hingga keluar darah. Kakiku yang terasa patah tulang, dalam keadaan setengah sadar mencoba meminta tolong dengan suara yang teramat lirih.

Tapi sia-sia.

Tuhan. Kenapa aku harus berakhir mati seperti ini? Ingin bangkit tapi rasanya sakit sekali, didalam tubuh yang sudah bersimbah darah, kepala terbentur dengan keras terasa ingin pecah saat itu juga.

Aku tidak bermaksud untuk mati bunuh diri. Ini murni karena aku tidak sengaja terjatuh dari atas ketinggian.

Jika masih ada kesempatan untuk hidup.

Mama, tolong aku.

.

“Kalian berbohong kan?! Putriku Helena, dia tidak mungkin mati seperti ini!” teriak seorang wanita paruh baya dihadapan para guru yang mengkrubungi mayat seorang siswi.

Siswi kelas 11 Jurusan Desain bernama Helena tewas terjun dari ketinggian 20 meter. Banyak dugaan yang mengatakan bahwa siswi tersebut melakukan aksi bunuh diri nya pada hari ini.

Tidak ada seorang pun di gedung itu dan hanya ada Helena sendirian saat itu yang mana semakin diperkuat bahwa kematian ini murni disebabkan bunuh diri.

Tapi Ibu dari siswi tersebut jelas membantahnya, dia menangis, berteriak, seakan dunianya hancur saat ini juga kehilangan putri tercintanya.

“tidak!” seruanya membantah setiap dugaan mengenai kejadian ini, “Helena tidak mungkin melakukan hal itu. Dia gadis yang pintar, dia tidak melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri apalagi membunuh nyawanya sendiri!!”

Lihatlah betapa hancurnya hati seorang Ibu. Kepalanya menggeleng dan mencoba mendekati sang anak yang sudah tak bernyawa. Mencoba menepuk-nepuk pipi dan berharap kejaiban terjadi walau mustahil.

PAPA {HANEISHI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang