Bab 1

1.6K 52 0
                                    

Bibirku meringis lirih, kupegangi pelipis yang barusan terkena lemparan kerikil. Pandanganku meruncing, tetapi juga takut pada beberapa warga yang berkumpul di depan. Dilihat dari wajah-wajah bengis itu, aku merasa mereka benar-benar ingin menghabisiku.

"Pergi kamu dari sini! Kami nggak sudi anak kami diajar sama kamu!"

Usiran itu disuarakan lagi. Disahut oleh makian dan hinaan lain.

"Perempuan nggak bener!"

"Perempuan kotor, kok, sok-sok ngajar anak-anak." Seorang bapak maju. Balok di tangannya diayunkan ke arahku.

Spontan aku mundur. Ternyata dia hanya menggertak. Menarik tangan menjauh dari pelipis, telapak sudah dihiasi noda darah. Rasa takut kini makin parah.

"Pergi sana!" Bapak tadi mengayunkan lagi balok kayunya.

Aku merasa tak mungkin bersikeras di sini dan membela diri atau memberi mereka-mereka ini pengertian. Mereka sudah dikuasai amarah. Mustahil membuat mereka melunak di waktu seperti ini. Yang ada bunuh diri namanya.

Memungut tas dari tanah, aku berjalan menuju mobil. Mereka yang menganggap kepergianku ini adalah sebuah kekalahan mulai berseru-seru girang. Mereka merasa menang.

"Huu! Dasar perempuan kotor!"

"Jangan sok kamu! Jangan dekati anak-anak kami!"

"Kalau berani ke sini lagi, saya habisi kamu! Merusak anak-anak saja!"

Memejam dongkol, aku berhenti berjalan. Berbalik, kutatap mereka-mereka yang berseru tadi dengan sorot malas. Dasar manusia sok suci, batinku.

Memangnya mereka tak pernah berbuat dosa? Memang, selama di dunia, mereka ini tak pernah keliru? Memang mereka punya hak menghakimi aku?

"Apa? Berani kamu? Malu harusnya!" Si pemegang balok kayu menantang.

Mendengkus singkat, aku berbalik dan lanjut berjalan ke mobil. Diki membukakan pintu agar aku bisa langsung masuk. Supir itu bergegas menuju kursi kemudi, lalu menjalankan mobil meninggalkan lapangan itu.

Rasanya masih dongkol sekali. Rencanaku gagal total gara-gara orang-orang sok suci tadi. Padahal, aku sudah merencanakan semua dengan baik sejak seminggu lalu.

"Non, itu lukanya mau diobati dulu?" Suara Diki dari kursi depan membuatku memalingkan wajah dari jendela.

Pada dia aku menggeleng. Luka di pelipis memang terasa perih. Namun, aku tidak bisa mengobatinya sendiri di sini. Aku takut.

"Mau ke klinik dulu?" saran Diki dengan sabar.

"Enggak usah," sahutku agak ketus. "Di rumah aja. Nanti ke klinik, aku diusir lagi."

Inginnya menjadi perempuan kuat yang tak cengeng. Namun, saat bibirku sendiri yang mengatakan kalimat barusan, mataku malah menghangat. Sedih sekali. Kecil dan begitu tak berarti aku di dunia yang bersih ini.

Siapa yang bisa disalahkan atas nasib buruk ini? Orang tua? Rasanya terlalu berdosa. Sudah orang tua susah payah membuatku ada di dunia dan merawat, masih harus disalahkan? Namun, kalau bukan mereka, lalu siapa?

Aku? Memang aku suka punya nasib begini? Aku suka dihina semua orang? Yang benar saja!

Perjalanan lima belas menit dari lapangan, kami tiba di rumah. Turun dari mobil, aku melihat sebuah kendaraan tak asing sudah terparkir di carport. Emosi yang tadinya sudah buruk, makin menjadi-jadi.

Sepertinya, hari ini masih banyak hal buruk yang mesti dilewati.

Kulangkahkan kaki melewati pintu utama. Di ruang tamu, banyak barang berserak seperti plastik, kotak plasti dan kardus. Di meja, lantai, bahkan beberapa ada di sofa.

Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang