Bab 2

861 48 0
                                    

Melalui beberapa orang yang bekerja pada Mas Diraja, aku memberi pengumuman pada anak-anak untuk berkumpul di lapangan lagi hari ini. Aku belum menyerah. Siapa tahu hari ini mereka-mereka yang sok suci itu mengabaikan aku?

Sayang, orang yang kusuruh mengumpulkan anak-anak itu kembali membawa kabar buruk.

"Non, Pak Eksa larang lapangan dipakai warga."

Aku yang sedari tadi duduk di sofa melonjak bangkit. "Kenapa?" tanyaku tak terima.

Wanita itu menggeleng bingung. Dia pamit ke belakang. Aku menghempas tubuh ke sofa. Wajahku pasti sudah jelek sekali karena ditekuk.

Tampaknya giliran Diraja yang menghalangi rencanaku hari ini. Kenapa, ya, semua orang seolah tak ingin aku melakukan keinginanku ini? Padahal, ini cuma hal sederhana.

Tinggal di kampung yang jauh dari kota, aku menyadari kalau banyak anak-anak di sini yang tidak sekolah. Sekadar membaca pun mereka tidak bisa. Karena itu aku punya program cemerlang.

Biar orang-orang kampung mengatai aku ini perempuan kotor, tidak baik, tetapi bukan berarti aku sama sekali tak bisa memikirkan hal baik. Sungguh, aku sangat ingin mengajari anak-anak di kampung ini membaca dan berhitung.

Alasannya? Supaya kejadian seperti seminggu lalu tak terjadi lagi.

Minggu lalu, seorang anak nyaris meneguk cairan pembasmi nyamuk. Dia berkata tidak tahu itu racun, karena botolnya sama besarnya dengan botol minuman teh. Jelas-jelas tulisan di botol itu berbeda.

Kutebak itu terjadi karena mereka tak bisa membaca. Karena itu, program cemerlangku ini harus terealisasi. Kalau cuma membaca dan berhitung, aku bisa mengajari mereka.

Masalahnya, ada saja halangan untuk mewujudkan mimpi sederhana ini. Kemarin warga membubarkan anak-anak, mengusirku, dan melempari kerikil. Katanya aku tidak kayak mengajar anak-anak itu membaca karena status.

Sekarang, giliran Diraja yang menyabotase lapangan, melarang semua orang memakai tempat itu. Mau apa dia dengan kalangan seluas itu? Mau dikuasai sendiri? Buat apa?

Menghentak kaki, aku melempar punggung ke sandaran sofa. Kalau warga bisa diatasi dengan terus mencoba, kapan mereka lelah mendatangi aku ke lapangan. Bagaimana cara menghadapi Diraja?

Eksa Diraja itu berkuasa. Hampir seluruh warga di kampung ini menggantung hidup dan hormat padanya. Mereka bekerja di ladang milik Diraja. Sebagian lagi menjadi pengurus tambak ikan dan udang milik Diraja.

Kalau mereka bukan pekerja, mereka pasti menyewa rumah Diraja. Pria itu bisa disebut sebagai pemilik dari kampung ini. Jadi, bagaimana aku bisa melawan perintahnya yang melarang lapangan dipakai?

Membujuk?

Jangan harap Eksa Diraja bisa dibujuk. Jika pria itu bisa melunak sedikit saja, maka istrinya pasti tak akan tertekan batin. Bila Eksa Diraja bisa dirayu, tak mungkin semua orang di rumah ini takut padanya.

Memohon?

Bisa dicoba. Mungkin, aku bisa berlutut sambil menyatukan dua tangan di hadapannya. Namun, apa itu bisa berhasil?

Kecil kemungkinan berhasil. Namun, bukankah itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa? Demi anak-anak kampung yang nantinya bisa belajar membaca, sepertinya ini bisa dicoba.

***

"Keadaan di luar ribut, Non."

Baru saja datang ke kamarku, Buk Warti yang membawakan makanan langsung melapor. Aku yang tadinya membaca novel sejenak memberi atensi padanya.

"Ribut apa?" tanyaku sambil mengamati lauk di piring yang ia tata di meja kecil dekat tempat tidur. Buku di pangkuan aku tutup dan taruh di kasur.

Enak sekali. Malam ini ada perkedel di menu makanan. Ada pepaya pula buahnya. Enaknya tinggal di rumah besar Diraja yang menyesakkan ini, ya, cuma ini. Makanannya selalu lezat.

Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang