Bab 7

590 41 1
                                    

Pertama kali dibawa ke rumah ini, saat itu umurku 26 tahun. Dalam keadaan masih berduka, aku dipaksa menerima kenyataan harus menjadi yang kesekian bagi Diraja. Merasa tak punya masa depan, aku tidak melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan.

Sekarang umurku sudah 29 tahun. Tak ada yang berubah, kecuali kini aku punya tujuan. Dua.

Salah satunya adalah  membantu anak-anak di kampung ini bisa membaca. Dan tujuan itu masih juga belum bisa dicapai. Aku masih belum berani bertanya pada Diraja kenapa ia mengunci lapangan dan sampai kapan kiranya itu akan terjadi.

Aku begitu menginginkan lapangan itu sebagai tempat mengajar, karena hanya itu lokasi yang nyaman untuk anak-anak di sini. Melamunkan ini, aku jadi gelisah. Apa kiranya yang bisa dilakukan sekarang? Mumpung malam ini aku menginap seranjang dengan Diraja.

Menengok ke samping, kulihat Diraja masih belum tidur. Bagus juga kesempatan ini. Apa dipakai saja?

“Mas,” panggilku pelan.

Pertama, harus berbasa-basi dulu. Jangan langsung ke inti, atau dia bakal murka.

“Kalau boleh tahu, apa alasanmu bawa Lia ke rumah ini?” Topik yang kubawa bagus, ‘kan? Dia pasti senang bicara tentang pacar barunya itu.

Tidak menjawab, Diraja melirik malas.

“Enggak gitu, Mas. Waktu itu, aku kan ikut ke rumah ini karena udah enggak punya siapa-siapa, terus kamu ngakunya bapakku titip aku. Kalau Lia? Kenapa kamu bawa dia ke rumah ini?”

Diraja melipat satu lengan di bawah kepala. Dia menatap langit-langit dengan sorot tenang.

“Karena dia masih muda, plus cantik, ya?” tebakku mencoba membuat suasana nyaman untuk bicara.

Diraja menghela napas halus.

“Apa kamu jatuh cinta sama dia? Umurmu, kan, empat puluh dua. Puber kedua?” Aku tersenyum lebar penuh ejekan.

“Kamu mau saya usir dia?”

Gegas aku menggeleng. “Enggak!” bantahku kencang. Penuh keyakinan. “Aku cuma pengen tahu.”

Tatapan mata Diraja menyipit. Dia pasti tidak percaya. Gagal sudah rencanaku membangun percakapan basa-basi ini. Kesal, aku balik badan.

“Dingin banget, sih, kamarmu ini!” Kutarik selimut serakah sampai ke dagu. “Memang aku beruang kutub harus tidur di suhu minus begini?”

Kupejamkan mata. Berusaha tidur meski dongkol. Di belakangku, Diraja bicara tanpa diminta.

“Saat bertemu saya, Lia hendak dijual ibunya ke beberapa orang. Dia memohon untuk diselamatkan.”

Aku balik badan, menghadap dia. “Jangan mikir aku bakal anggap kamu pahlawan,” cibirku. “Kamu senang, ‘kan? Dapat daun muda. Fantasimu tercapai!”

Diraja tidak membalas hinaan tadi. Kuanggap ini situasi baik. Emosinya sedang bagus mungkin.

“Mas Di.” Kubuat suara selembut mungkin. Kelopak mataku berkedip agak cepat supaya bisa memberi kesan menggemaskan. “Aku mau tanya hal serius.”

“Soal fantasiku ke Lia?” Dia menyahut dengan senyum tipis sekali. 

Kugelengkan kepala. “Bukan. Soal lapangan. Kalau boleh tahu, sampai kapan tempat itu kamu enggak bolehin dipakai?”

“Belum tahu. Kenapa memang?”

Menggigit bibir, kularikan pandangan dari wajahnya. “Ada. Aku—aku mau main raket di sana.”

“Sama Diki?”

“Iya. Sama Diki.” Kuberanikan diri menatap matanya, meski hanya sebentar. “Kan kalau main di lapangan enak. Lebar. Nanti kami buat netnya. Biar kayak tanding beneran.”

Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang