Bab 5

652 51 0
                                    

"Mau ke mana, Mas Di?"

Karena merasa sisi kasur bergerak, aku menoleh. Dan benar. Diraja sudah duduk.

Pria itu sudah dirawat dokter yang biasa menanganinya beberapa jam lalu. Alerginya kambuh karena memang ada bubuk kacang di kue yang Lia buat. Kata dokter, kalau kondisi Diraja tidak membaik sampai besok, harus dirujuk ke rumah sakit.

Demi memeriksa apa keadaan lelaki itu membaik atau tidak, aku diperintah menginap di kamar ini. Di kamar Diraja. Sejak tadi mencoba lelap, aku tak kunjung mengantuk. Karena itu bisa tahu kalau Diraja bergerak.

"Mau buang air," jawab Diraja.

"Pipis?"

Lelaki itu menoleh. "Saya bisa sendiri. Kamu jangan kasih saran pakai ember atau kaleng lagi." Meski sayu, matanya masih bisa menunjukkan sorot penuh ancaman.

Tersenyum mengejek, aku bangkit dan menyusulnya ke sisi kanan. "Sini aku bantu."

"Nggak usah. Bisa sendiri." Dia berdiri.

"Infusmu gimana? Jangan ngeyel, deh. Jangan gengsi. Aku bantuin cuma sampai kami sembuh, kok."

Kuambil kantung infusnya. Dia berjalan, kupegangi lengannya takut-takut. Jangan sampai dia mengamuk.

Ngomong-ngomong, soal ember dan kaleng yang Diraja sebutkan tadi. Aku memang pernah membuatnya buang air kecil di dalam kaleng. Pasalnya, saat itu dia sedang demam. Tubuhnya panas, dipasangi infus juga.

Harusnya, waktu itu Diraja dirawat di rumah sakit. Namun, dia menolak. Alhasil, dirawat di rumah saja. Aku yang bertanggungjawab mengurusnya, karena aku yang memaksa dia diperiksa.

Badannya panas, lemas, kebetulan ingin ke kamar kecil. Takut dia pingsan karena berdiri saja sempoyongan, jadi kuberi saran dia buang air di kaleng. Mulanya menolak, dia terpaksa mau sebab sudah tak tahan. Tak kusangka dia masih ingat hal itu.

Habis membantunya ke kamar mandi, kami kembali ke kasur. Dia berbaring, aku mengambil salep yang tadi dokter berikan.

"Mas Di, angkat bajunya dulu," pintaku sambil duduk di samping Diraja.

"Kenapa?" Dia tampak tak terima. Menyebalkan sekali ekspresinya. Apa dia menganggap aku mesum?

"Biasanya ruam karena alerginya bakal muncul. Sini aku lihat dulu." Kusingkap kausnya. Benar. Beberapa ruam mulai kelihatan.

"Kan, udah ada merah-merah. Aku kasih salep, ya. Nanti biar enggak terlalu gatal."

Diraja tidak protes lagi. Aku mulai membalurkan salep itu ke ruam di perut, dada dan ada di tangannya.

"Kamu tahu dari mana saya bakal butuh oksigen?" Dia buka suara tanpa kukira.

Aku melirik dia sekilas sambil terus mengoleskan obat. "Aku sebenarnya udah tebak itu kue ada bubuk kacang. Cuma, karena aku lihat yang lain anteng, aku takut salah."

"Jadi, kamu melarikan diri?"

Kepalaku mengangguk. "Mas lihat kanan dulu. Di wajah juga ada."

Diraja menoleh ke kanan.

"Tapi aku balik lagi. Cepat-cepat suruh Diki ambil oksigen." Aku membela diri. "Pas di ruang makan, kamu udah batuk-batuk."

Selesai membalur salep di bagian kanan wajah, aku memeriksa yang kiri. "Di kiri juga ada. Kalau gatal jangan digaruk, ya?"

Beres memberi salep, aku kembali ke sisi kasur yang kosong. "Mas enggak haus?"

"Sedikit."

Aku bangkit lagi. Sudah kuduga dia akan butuh banyak air.

Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang