Bab 12

556 71 11
                                    

Semenjak kejadian di kolam, aku merasa rumah Diraja tak lagi aman. Jadi, seminggu ini aku tak pernah keluar kamar. Setiap saat pintu terkunci dan hanya Buk Warti atau Diraja saja yang boleh masuk.

Karena kejadian mengerikan itu juga, aku gagal mewujudkan keinginan untuk membantu anak-anak membaca. Aku takut kalau misal pergi ke lapangan, Siska akan mendatangi atau bahkan menculikku sebelum aku sampai di sana.

Seminggu ini yang bisa kulakukan hanya merenung. Kadang juga menangis kalau rasa takut dan sedih terlalu besar dan tak bisa kukendalikan. Namun, hari ini aku harus melakukan sesuatu yang lain.

Buk Warti kuminta membeli test pack. Kuingatkan beliau agar tidak ketahuan Siska dan yang lain. Pukul tiga sore, wanita itu datang membawakan yang aku minta.

"Non, maaf. Kenapa butuh tes pack?" Terlihat sekali ada rasa takut di wajah Buk Warti.

Memegangi alat tes itu, aku berusaha tersenyum. "Iseng tes aja. Seingatku bulan ini belum datang bulan."

Buk Warti mengambil tanganku. Digenggamnya telapak tanganku. "Non, semoga hasilnya nggak akan membuat Non susah, ya?"

Pada wanita itu aku mengangguk. "Ibuk boleh istirahat dulu. Jangan bilang Diraja, ya?"

Buk Warti mengangguk, kemudian meninggalkan kamar. Aku mengunci pintu sebelum bergerak ke kamar mandi. Ini saatnya memeriksa. Apa mual-mualku beberapa hari ini adalah sebuah pertanda?

***

Sebelum ini, aku tidak punya masalah dengan makanan apa pun. Semua bisa kunikmati dengan lahap, asal tidak terlalu pedas. Namun, malam ini aku mual karena bau ayam gulai yang tersaji di meja.

Diraja meminta semua orang makan bersama malam ini. Tidak mungkin mengarang alasan untuk mangkir karena sebelum-sebelumnya sudah melakukan itu, aku terpaksa turun dan bergabung. Baru saja duduk, mual langsung menyerang karena wangi kuah gulai yang berada tepat di depanku.

Sudah berusaha kutahan, tetapi perut sungguh bergejolak. Aku menutup mulut. Suara mualku membuat orang-orang di meja menoleh ke sini.

"Kamu mual?" Gisel bertanya dengan mata melotot tak senang.

Aku menggeleng. Menutup mulut rapat, tetapi akhirnya aku berlari meninggalkan ruang makan. Aku naik kamar. Mengunci pintu, lalu muntah di kamar mandi.

Makin hari mual ini makin menyiksa. Bukan cuma pagi, sekarang aku juga muntah-muntah saat malam. Karena wangi makanan pula. Aneh sekali.

Selesai dari kamar mandi, pintu kamar diketuk. Aku waspada. Sekarang, semua orang di rumah ini pasti menaruh curiga. Terlebih para wanita-wanita itu. Mereka pasti sudah tidak sabar melihat aku angkat kaki dari rumah ini.

Aku sebenarnya tidak keberatan pergi. Terlebih setelah hampir dilenyapkan Siska. Namun, tidak malam ini juga. Aku bahkan belum berkemas.

"Shanika?"

Suara pintu diketuk dibarengi panggilan Diraja. Aku mendekat ke sana.

"Aku bolehin kamu masuk, tapi sendirian, Mas," kataku dari dalam.

Aku tak mau mengambil risiko ada Siska atau yang lain. Mereka tak akan mau mendengar permintaanku.

"Iya, saya sendirian." Tak lama Diraja memberitahu.

Kuputar kunci pintu. Membukanya, Diraja kemudian masuk. Setelahnya, aku kunci lagi sehabis memastikan tak ada siapa-siapa di belakang Diraja.

Aku dan Diraja sama-sama membisu untuk beberapa saat. Aku duduk di pinggir tempat tidur, Diraja berdiri bersandar ke dinding sambil bersedekap. Dari tatapannya, aku tahu dia punya pertanyaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang