Bab 9

561 53 1
                                    

Puas duduk-duduk di halaman belakang, kantuk membawaku meninggalkan tempat itu. Perlu melewati ruang tengah untuk bisa naik ke kamar. Aku langsung berbalik saat menemukan ada Diraja dan Gisel di sana. Namun, belum sempat menggerakkan kaki, aku mendengar suara Diraja.

"Bantu saya, Shanika," ucapnya dengan suara rendah dan penuh perintah.

Terpaksa mendatangi sofa, aku temukan Gisel melirik benci. Dia pasti sudah menandaiku sebagai pengganggu. Perempuan itu sepertinya sudah sangat ingin berduaan dengan Diraja, sampai-sampai berdandan cantik malam-malam begini.

Bau parfumnya saja menguar pekat memenuhi ruang tengah. Bibirnya merona. Tak lupa pemeran pipi yang membuat tampilannya makin sempurna. Diraja ini memang tidak pandai membaca situasi.

"Sini, bantu saya." Suara Diraja menarik atensi.

Lelaki itu menyerahkan jepit kuku. Tanganku ditarik hingga duduk di sebelahnya. Di sampingnya Gisel berdecak sambil membuang muka.

"Mas Eksa nggak adil. Tadi aku bilang mau bantuin, Mas tolak." Di kanan Diraja, Gisel protes.

Pria yang diprotes terlihat tenang saja. Dia mengurai kelima jarinya ke arahku.

"Biar Shanika aja. Dia yang makannya paling banyak di rumah ini," tuturnya berasalan.

Menyebalkan. Tidak senang, kutekan ujung telunjuknya kuat-kuat. Sayang, sepertinya itu tidak sakit. Dia tampak masih santai-santai saja.

Gisel pada akhirnya mengalah. ia tinggalkan ruang tengah tanpa pamit. Aku terjebak di sini, memotong kuku Diraja.

"Hobimu memang bikin aku dibenci orang-orang, ya?"

"Kata siapa?" balasnya sambil menyalakan televisi. Sejak tadi duduk tegak, kini lelaki itu bersandar pada sofa.

"Kataku." Aku memungut kuku-kukunya kemudian ditaruh di atas tisu. "Kenapa minta tolong aku, padahal tadi sini ada Gisel? Nanti aku dijambak lagi, gimana?"

Lelaki itu menoleh. "Ada yang jambak kamu lagi?"

"Habis ini mungkin. Itu Gisel sengaja dandan buat kamu. Malah kamu anggurin."

Diraja tersenyum tipis. "Dia butuhnya cuma uang saya."

"Memang aku enggak?" celetukku asal. Kuku jari kirinya selesai. "Siniin tangan kananmu."

Diraja memberikan tangan kanannya. "Kamu butuhnya bukan uang."

Dahiku mengernyit. "Kata siapa?"

"Barusan kamu mintanya tangan kanan saya. Bukan uang."

Oh. Dia berusaha bercanda. Sumbang, putus-putus, aku berikan tawa demi menghormati.

Kami sama-sama diam beberapa saat. Saat pekerjaanku selesai, dia buka suara lagi. Membahas kenapa aku tidak ke lapangan lagi. Kesannya dia ingin mengejek sekali.karena rencanaku gagal.

"Mau ngapain? Anak-anaknya enggak ada yang mau diajarin membaca." Dua ujung bibirku jatuh. Sedih rasanya saat niat hati tak diterima dengan baik. Kecewa.

"Kamu terlalu serius."

"Apanya?" Aku bersandar ke sofa. Kutatap dia penuh perhatian.

"Kamu bilang ke mereka membaca itu perlu supaya bisa dapat kerja bagus. Mana mereka tertarik."

Aku memiringkan tubuh ke arahnya. Dua tanganku menopang kepala di sandaran sofa. "Jadi, harusnya gimana?"

"Coba kasih mereka buku cerita bergambar. Mereka pasti tertarik, penasaran sama isinya. Setelahnya, kamu bisa ajak mereka belajar membaca."

Kepalaku seketika tegak. Mataku bersinar-sinar menatap dia. Pintar sekali lelaki ini. Pantas uangnya banyak.

Tercerahkan atas ide itu, aku menepuk-nepuk bahunya penuh apresiasi. "Mas Di pinter banget! Kenapa aku enggak kepikiran, ya?"

Kutekan-tekan jidat sendiri dengan telunjuk setelahnya. "Otakku enggak encer. Enggak kayak Mas Di. Makasih, ya, Mas Di!" seruku sambil tersenyum lebar.

"Nggak gratis."

Aku mengangguk-angguk. "Udah tahu. Tapi nanti, ya. Sekalian sama kado ultah Mas Di aja."

Lelaki itu mengangkat kedua alis. "Kado ulang tahun?"

Kepalaku mengangguk. "Kan dua hari lagi Mas Di ulang tahun. Sekalian aja aku kasih bayaran untuk ide ini. Oke?"

Berdiri, aku meregangkan otot-otot. "Aku tidur duluan, ya, Mas," pamitku sebelum pergi ke kamar.

***

Saat anak-anak yang lain sudah membubarkan diri, Dito malah berdiri di depanku tanpa melakukan apa-apa. Kutatap dia heran.

"Kenapa?" tanyaku sambil mengusap kepalanya.

Dito ini adalah anak yang awalnya menolak tawaranku untuk diajari membaca. Siapa sangka? Kini dia sudah kenal huruf. Padahal, kami baru belajar tiga hari.

Berkat ide Diraja, rencanaku mulai berjalan. Rasanya akan benar-benar berhasil, kalau anak-anak yang sebagian sudah pulang itu serius dan rajin datang ke lapangan.

Buku cerita bergambar sungguh bisa menarik minat anak-anak. Mereka penasaran pada gambar awalnya. Kemudian, mulai ingin tahu jalan ceritanya. Lalu, mereka akan senang hati diajari membaca.

Brilian.

Hari ini, aku mulai mengajari mereka dari pukul tujuh pagi. Sekarang sudah pukul delapan, waktunya pulang. Aku sudah membagi sedikit oleh-oleh untuk mereka bawa pulang. Entah kenapa Dito masih berdiri saja di hadapanku dan bukannya ikut berlarian seperti teman-temannya yang lain.

"Kenapa, Dito?" Aku berjongkok di hadapan anak berusia delapan tahun itu. "Kenapa belum pulang?"

Ragu-ragu dia mengambil secarik kertas dari saku. Diberikannya itu padaku dengan kepala tertunduk. Ada tulisan di sana.

Terima kasih.

Mataku langsung berbinar ketika mengeja itu. Tulisan hurufnya belum tegak, jarak antar huruf juga masih belum sama. Namun, hatiku bilang ini tulisan paling manis yang pernah aku baca.

"Buatku?" tanyaku dengan pipi menghangat. Mataku berkedip-kedip padanya.

Dito mengangguk. Telunjuknya menggaruk kepala. "Pulang dulu," katanya cepat setelah menatap mataku beberapa saat.

Dia sudah berlarian meninggalkan lapangan, padahal aku belum sempat membalas.

"Kembali kasih!" teriakku sambil berdiri. Kulambaikan tangan tinggi-tinggi padanya, meski bocah itu sama sekali tak berbalik atau menoleh.

Hari ini, aku senang sekali.

Mungkin, karena terlampau senang, aku meminta sesuatu yang aneh pada Diraja di malam harinya. Sesuatu yang bahkan tak pernah kubayangkan. Diraja saja sampai tak bisa menyembunyikan keheranannya. Membuatku bertanya-tanya keinginan itu hadir karena memang terlalu terbawa suasana atau karena tertular virus tak waras dari Diraja?

Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang