Bab 8

542 40 1
                                    

"Coba, kita mulai hitung ada berapa orang, ya? Mulai dari Andi. Andi, satu. Gitu. Yang lain lanjutin."

Aku memberi aba-aba pada anak-anak yang sudah duduk di hadapan. Hari ini aku berhasil mengumpulkan mereka di lapangan. Tidak banyak, karena sebagian masih dilarang datang oleh orangtuanya.

Diraja memberikan waktu lima hari untuk menggunakan lapangan ini. Dan ini baru hari pertama. Rasa optimis kembali tinggi soal rencana mengajar anak-anak membaca.

"Sepuluh."

Mereka selesai menghitung. Jadi, ada sepuluh orang. Tidak buruk juga.

Sebelum bicara, kuberi senyum pada anak-anak yang memasang wajah menunggu itu. "Kalian kenal nama kakak siapa?" mulaiku dengan perasaan gugup.

Mereka menggeleng. Saling menatap dengan wajah bingung.

"Kalau gitu, kita kenalan dulu. Kalian bisa panggil aku Kak Shanika." Mereka masih memasang wajah tenang, aku mulai gelisah. Apa caraku mengajak mereka bicara terasa aneh?

"Kenapa kami disuruh kumpul di sini?" Salah satu anak bertanya.

Padanya aku mengangguk paham. "Aku minta kalian kumpul mau ditanyain. Siapa di sini yang udah bisa baca? Coba angkat tangan?"

Serempak mereka menggeleng. Sudah kutebak. Orang tua mereka yang fokus mencari uang membuat mereka diabaikan hak belajarnya. Aku sudah mengamati hal itu sejak tiga tahun lalu.

Aku beruntung karena dulu Bapak masih mau menyekolahkanku, meski harus berutang banyak. Bapak memang tidak meninggalkan warisan harta, tetapi berkat beliau aku bisa membaca, bisa berhitung, tahu sedikit ilmu sekolahan.

Aku bersyukur atas itu, karenanya mau sedikit membantu anak-anak di sini. Aku memang tidak bisa membangun sekolah, tetapi aku bisa mengajari mereka membaca.

"Kalian mau bisa membaca, enggak?" tanyaku penuh harap.

Beberapa dari mereka diam saja. Sebagian menggeleng.

"Kenapa?" Aku bergeser, duduk lebih dekat dengan yang tadi menggeleng. "Kenapa enggak mau bisa membaca?"

Anak laki-laki itu melirik sinis. "Untuk apa bisa baca? Sekolah? Kan nggak bisa hasilkan uang? Kata Ibuk nggak perlu."

Baik. Itu tidak salah. Namun, tidak sepenuhnya benar.

Aku menjelaskan. Kuingatkan dia perihal peristiwa yang hampir membuat salah satu temannya meregang nyawa.

"Kalau misal dia bisa baca tulisan di botol itu, dia pasti enggak akan minum isinya," jelasku penuh perhatian.

"Itu si Fitri aja yang bodoh. Udah tahu isi botolnya bau. Masih aja diminum."

Eh. Benar juga. Bocah ini pintar sekali.

Belum putus asa, aku mencoba memberi contoh lain. Kuberitahu salah satu keuntungan kalau nanti dia bisa membaca.

"Kalau kamu bisa baca, kalau kamu mau cari kerja, kamu pasti enggak disuruh bagian yang capek-capek. Nanti disuruhnya di bagian tulis-tulis berapa udang yang masuk, bukan disuruh angkat-angkat udangnya ke truk."

Dia memicing. "Angkat-angkat udang juga dapat duit. Ibu bilang, yang penting dapat duit, ada buat beli beras. Membaca dan sekolah nggak penting."

Benar lagi. Memang sesederhana itu jalan pikiran kami yang hidup serba susah ini. Yang penting ada beras untuk dimakan. Yang lain bukan apa-apa.

Habis cara, aku menatap anak lelaki itu dengan wajah cemberut. "Kamu pinter banget. Ah, enggak seru."

Dia tampak bingung, tetapi tak mengatakan apa-apa lagi. Telanjur buruk suasana hatiku. Malas mencari penjelasan yang sekiranya bisa dia terima.

Aku memanggil Diki. Memintanya membagikan bingkisan berisi jajan untuk anak-anak itu.

"Kalau udah kebagian, kalian boleh pulang," kataku dengan wajah sedih. "Besok, yang mau diajarin membaca sama berhitung boleh datang ke lapangan ini jam tujuh pagi, ya."

Anak-anak itu membubarkan diri. Berlarian menuju rumah masing-masing, bahuku langsung jatuh. Dengan kepala tertunduk aku berjalan dan masuk mobil.

Ternyata, melakukan apa yang kuinginkan tak semudah itu. Tadinya orang tua mereka marah-marah, menolak niat baikku untuk mengajari anak-anak itu membaca. Sekarang, anak-anaknya yang menolak diajari.

"Jangan sok mengurusi hidup orang. Kamu kira kamu siapa? Sok mengajari membaca. Jangan sok baik."  Perkataan Siska tadi pagi terngiang di benakku.

Apa dia benar, ya? Aku sudah berlebihan? Sok baik? Namun, niatku cuma ingin mereka bisa membaca supaya nanti tidak terlalu ketinggalan jauh dari anak-anak dari desa lain.

Mengingat keadaan anak-anak di sini yang lebih banyak tidak bersekolah, daripada yang bersekolah, aku jadi jengkel pada Diraja. Sebagai satu-satunya orang terkaya di sini, apa dia tidak pernah memikirkan nasib desanya ini, ya?

Keterlaluan. Tahunya hanya memperkaya diri sendiri. Bersenang-senang dengan banyak perempuan. Tidak berguna.


***

Habis meladeni Diraja, aku pergi ke dapur. Haus. Siang-siang begini pria itu malah minta aneh-aneh.

Di dapur, aku bertemu Mbak Nita. Dia salah satu asisten rumah tangga di sini. Seringnya melayani Arini.

Sambil meneguk air, kulihat Mbak Nita memasukkan sisa makanan di piring ke plastik. Bukannya dibuang, plastik itu malah disimpan di tasnya.

Kudatangi Nita. "Mbak, maaf. Kenapa sisa makanannya disimpan? Untuk kucing Mbak?"

Dia tampak terkejut dan panik. Wajahnya menunduk. "Maaf, Mbak. Jangan diadukan ke Mbak Arini."

Dia berlutut di depanku. "Mbak, tolong jangan kasih tahu Mbak Arini." Mbak Nita menyatukan tangan dan memohon dengan wajah takut.

Aku keheranan. Kenapa dia setakut ini? Aku bahkan tak bilang apa-apa.

Kubantu dia berdiri. "Kenapa takut? Aku, kan, enggak bilang apa-apa. Aku cuma tanya. Makanan tadi bukan untuk kucing?"

Mbak Nita mengangguk. Kulihat dia sudah menangis. "Makanannya saya bawa untuk anak saya, Mbak. Dia nggak pernah makan enak."

Oalah. Aku sudah salah paham. Kukira sisa makanan itu dibawa untuk kucing.

Kudapati ada sepiring ayam suwir sambal di meja. Isinya masih setengah lagi. Dan itu jauh lebih layak dibawa pulang untuk anak Mbak Nita, daripada sisa makanan yang sudah bekas makan.

Kugeser piring itu padanya. "Kalau mau bawa untuk anaknya Mbak, bawa yang ini. Mana yang tadi, buang aja. Itu bekas orang. Udah diacak-acak, ada sisa nasinya juga."

Mbak Nita menggeleng. "Saya takut, Non. Yang itu saja."

Aku berjalan ke arah tasnya. "Maaf, ya, Mbak," izinku sambil mengambil plastik tadi.

Kutaruh benda itu di keranjang sampah. Setelahnya, kubungkus ayam yang masih layak dibawa, kusimpan di dalam tasnya.

"Udah. Kalau ada yang tanya, bilang aku yang suruh bawa." Aku meyakinkan dia.

Saat berbalik hendak ke kamar, aku tersandung kakiku sendiri. Alhasil, aku jatuh. Gelas yang sejak tadi ada di meja ikut jatuh dan pecah. Salah satu bagiannya mengenai telapak tanganku.

Rasanya perih. Namun, rasa malu yang paling terasa. Malah ada Mbak Nita pula.

"Saya bantu, ya, Non?" Mbak Nita memapahku untuk dibantu duduk di kursi.

Dia mencari kotak obat setelah mencuci lukaku dengan air. Di saat itu Diraja datang ke dapur. Pria itu melihat padaku dan pecahan gelas di lantai bergantian.

"Maaf, Pak. Saya tadi nggak perhatikan ada gelas di meja." Tahu-tahu Mbak Nita yang baru datang meminta maaf.

"Kenapa Mbak yang minta maaf? Kan aku yang kesandung kakiku sendiri," bantahku.

"Obati itu tangannya," perintah Diraja pada Mbak Nita.

Mbak Nita patuh. Telapak tanganku diberi obat, lalu ditutup dengan plester kecil.

"Makasih, ya, Mbak Nita. Tolong muka aku pas jatuh tadi dilupain. Malu." Usai mengatakan itu, aku meninggalkan dapur.

Di belakang Diraja mengikuti. Dia mengekori aku menaiki tangga. Kukira dia akan ke kamar salah satu pacarnya atau istrinya, eh dia malah ikut masuk ke kamarku.

Aku menatapnya heran. "Ngapain di sini?"

"Kenapa marah-marah terus? Bukannya saya udah kasih izin untuk pakai lapangan? Kenapa sejak pulang dari lapangan marah-marah terus?"

"Terserahku. Kok ngatur-ngatur?" balasku sewot.

"Kamu boleh mengatur saya. Kemarin katanya jangan minta dibuatkan kopi. Saya nggak minum kopi dari kemarin."

Aku memalingkan wajah. "Mulai sekarang udah boleh minum kopi lagi."

Sebab kopinya sudah kuganti dengan yang baru. Curiga saja Lia menaruh sesuatu yang berbahaya di sana, jadi kubuang.

"Lalu, kenapa marah-marah terus?"

Aku duduk di tepian ranjang. "Enggak. Enggak marah-marah."

"Kegiatanmu di lapangan nggak berjalan baik?" tebaknya.

"Bukan urusanmu." Aku menghentak kaki karena dia belum mau beranjak. Terus berdiri di belakang pintu dan menatapi.

"Apa, sih, Mas Di? Siapa yang marah-marah? Orang tadi aku ladenin kamu, kok, meski siang bolong."

Lelaki itu melipat lengan di depan dada. Tatapannya meruncing. "Ya tadi kamu juga marah-marah. Mas Di, pelan! Ngilu tahu! Kamu itu besar banget!"

Wajahku terasa panas. Inginnya masih kesal, senyumku malah pelan-pelan muncul. Aku malu, tetapi geli mendengar dia menirukan ucapanku.

"Diam kamu, Mas," protesku dengan suara pelan. "Udah terserahmu mau di situ sampai kapan. Aku mau tidur."

Segera aku naik ke kasur. Berbaring, memunggungi dia.

"Nggak makan?" Dia bertanya.

"Enggak."

Tak lama setelah aku menjawab, terdengar suara pintu dibuka. Dia sepertinya keluar, sebab kembali terdengar suara pintu ditutup setelah itu. Aku berbalik, pintu kembali terbuka.

Diraja kembali muncul.

"Apa lagi?" tanyaku pura-pura masih kesal.

"Sudah boleh minum kopi? Saya boleh suruh Buk Warti buatkan kopi?"

Memutar bola mata, aku bangkit dari ranjang. Kudorong dia, kami berjalan ke dapur. Diraja kusuruh duduk, sementara kopinya aku siapkan. Tidak lupa kucicipi sedikit, supaya lebih yakin aman. Kemudian, kusajikan padanya.

Sudah. Habis itu aku kembali ke kamar dan tidur.



Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang