Bab 11

833 68 9
                                    

Kubuka mata perlahan. Hal pertama yang kusadari adalah napas yang agak cepat. Mengamati kiri dan kanan dengan mata menyipit, aku bingung ini kamar siapa untuk sebentar.

Sekujur tubuh terasa nyeri saat aku bergerak duduk. Ketika punggung akhirnya bisa bersandar di kepala ranjang, aku ingat ini kamar siapa. Punya Diraja.

Pelan-pelan aku ingat apa yang terjadi sebelum ini. Lega menyeruak di dada sampai mataku ikut menghangat. Pandangan jadi buram karena air mata mulai menumpuk.

Bukan cengeng. Aku hanya senang karena ternyata tidak jadi mati. Teringat keadaan di kolam kemarin itu, rasanya mustahil aku hidup.

Bagaimana kiranya aku bisa masih hidup?

Suara gagang pintu diputar terdengar. Aku menoleh, Diraja di sana. Untuk sebentar aku bingung kenapa pria itu menyipitkan mata.

"Bisa kamu memberi penjelasan sekarang?"

Penjelasan apa?

"Kenapa kamu lompat ke kolam, padahal nggak bisa berenang? Hobi barumu bikin kehebohan?"

Mulutku setengah terbuka mendengar penuturannya itu. Lompat ke kolam? Membuat kehebohan? Apa maksud Diraja ini?

"Maksud kamu apa?" tanyaku dengan suara serak.

Dia membisu dan terus menatap tajam, aku mengedarkan pandang mencari air. Aku lupa ini bukan kamarku yang selalu tersedia air minum. Mau ambil sendiri, kepalaku agak berat. Aku takut jatuh. Jadi, aku bertanya di mana Buk Warti.

"Buk Warti belum pulang berbelanja." Diraja memberitahu.

"Diki? Tolong panggilkan, Mas," pintaku memelas.

"Diki udah tiga hari nggak masuk."

"Hah?" Tak bisa kusembunyikan rasa terkejut. "Mas Diki sakit?"

Diraja menggeleng. "Nggak ada keterangan kenapa dia nggak masuk. Hapenya mati."

Makin heran aku. Diki bukan orang yang akan bolos kerja tanpa kabar. Sesederhana dia sakit perut saja Diki akan memberitahu. Mengapa bisa dia tidak memberi kabar sampai tiga hari?

Ini aneh. Pasti ada yang salah. Aku akan mencarinya setelah minum.

Terpaksa aku turun dari ranjang. Pijakan rasanya bergoyang, sampai aku harus kembali duduk, memegangi kepala yang berputar-putar.

"Sekarang kamu mau buat apa?" Suara Diraja menyebalkan sekali. Penuh tuduhan yang konyol. Seolah aku ini suka mencari-cari masalah.

Dengan mata menyipit agar pandangan fokus, aku menatapnya. Ingin sekali marah, tetapi aku sadar sedang butuh bantuannya. Jadi, kupasang wajah memelas.

"Mas, aku haus. Aku butuh bantuan kamu karena kepalaku pusing, enggak sanggup jalan."

Diraja sempat bergeming beberapa saat. Sempat aku hilang harapan kalau dia akan mau membantu. Namun, pada akhirnya lelaki itu bersedia menyumbang tenaga.

"Iya," katanya pelan sambil pergi keluar.

Sendirian di kamar, air mataku jatuh lagi. Kali ini lebih deras. Terheran-heran aku menghapusinya dengan tangan. Kenapa aku cengeng sekali? Ini bukan sesuatu yang cuma harus ditangisi. Apa yang menimpaku ini mesti dipikirkan serius.

Jadi, Siska sungguh menuduhku hendak mencelakai diri sendiri? Dia mengatakan itu pada Diraja, karenanya lelaki tadi menuduhku suka membuat kehebohan.

Tega sekali Siska? Aku tahu sejak awal dia memang membenciku. Namun, tak pernah mengira dia akan sanggup melenyapkanku. Padahal, selama ini aku berusaha tak cari masalah, menjaga jarak dan juga bersikap baik padanya. Apa dia tak bisa melihat semua itu?

Shanika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang