keputus(asa)an

250 30 3
                                    

Malam itu Jay menginap di kediaman sulung Lee. Setelah bercinta melepas rindu, ia ketiduran dan baru bangun pukul 12 malam. Tubuhnya benar-benar terasa remuk. Namun perutnya yang keroncongan memaksa dirinya untuk bangun. Alisnya berkerut saat mendapati bahwa yang tidur di sampingnya adalah Sunoo. Ia sama sekali tidak menemukan presensi sang kekasih di kamar itu.

Dengan rasa lapar yang tak tertahankan, Jay segera turun dari ranjang dan berjalan keluar.

Suasana ruang utama terlihat lengang. Jay tak tau di mana dapur berada jadi dia berjalan ke arah dimana tadi ipar Heeseung datang membawa nampan minuman.

Lorong itu benar menghubungkannya langsung ke dapur. Namun bukannya segera  menuntaskan rasa laparnya, Jay justru lebih tertarik pada pintu belakang yang setengah terbuka. Dari sanalah dia mencium aroma tembakau yang dibakar.

Tanpa sadar dia sudah melewati pintu belakang itu dan menemukan kekasihnya tengah duduk di undakan, membelakanginya, dan mengapit sebuah rokok yang sedang mengepul di jarinya.

Heeseung merokok?

"Sejak kapan?"

Suaranya sukses mengagetkan bungsu Lee itu. Dia dengan terburu-buru mematikan rokoknya, membuangnya ke sebuah wadah khusus, bahkan menepuk-nepuk pakaian dan mengibaskan tangannya di udara untuk menghilangkan aroma rokok.

"Percuma, aku sudah lihat," kata Jay seraya mendudukkan dirinya di sebelah yang lebih tua. Hidungnya mengkerut saat mencium aroma asap yang masih tersisa.

"Maaf," cicit Heeseung sambil menunduk.

"Kenapa meminta maaf?"

Heeseung memilin ujung bajunya dengan rasa bersalah. "Karena aku merokok."

"Kau belum menjawabku, Hyung. Sejak kapan?" Jay memandang sang kekasih dari samping. Kelihatan sekali Heeseung sedang berusaha menghindari tatapannya.

"Baru-baru ini," jawab Heeseung jujur.

"Apa kau berbicara dengan kancing bajumu?"

Heeseung pun langsung menoleh, menatap balik Jay dengan takut-takut. Meski usianya lebih tua, tapi ia tak bisa menampik fakta bahwa aura Jay begitu mendominasi dirinya.

"Maaf," cicitnya sekali lagi.

Jay tidak marah, sungguh. Malahan kini dia tersenyum geli sambil mencubit dagu Heeseung.

"Kenapa meminta maaf sih? Aku tidak akan memarahimu, Hyung."

"Kenapa tidak marah?"

Jay menatap bingung kekasihnya. "Ya memang tidak ada yang harus dimarahi."

"Tapi aku merokok tanpa sepengetahuanmu."

"Okay, terus?"

"Harusnya kau memarahiku."

"Kenapa aku harus?" Jay mendengus geli. "Hyung, kau sudah dewasa, beberapa tahun lagi bahkan sudah akan berkepala empat. Aku tidak punya hak untuk memarahimu karena merokok."

"Tetap saja aku merasa bersalah."

Heeseung tetap Heeseung, orang yang mudah sekali overthinking. Jay terlalu lapar untuk mendebat lebih panjang. Jadi dia hanya mengusap rambut bungsu Lee itu dengan sayang.

"Lebih baik ceritakan padaku apa yang terjadi padamu belakangan ini, Hyung. Aku lebih butuh penjelasanmu tentang hilangnya dirimu secara tiba-tiba daripada permintaan maaf."

"Ah, itu—" ucapan Heeseung tertahan oleh telunjuk Jay yang tiba-tiba mendarat di bibirnya.

"Sebentar, kita lanjut nanti dulu setelah aku membuat ramen. Aku lapar sekali, Hyung. Terakhir kali aku mengisi perut saat di pesawat. Ada ramen cup tidak? Atau ramen apa saja lah, yang penting ada, aku lapar sekali."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

a normal day of Jay ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang