Our Little Girl : Princess Of Heaven (1)

630 10 0
                                    

Our Little Girl : Princess Of Heaven
Dylan-Rina After Story

---

Chapter 1


“Kalo Mama nggak mau memberikanku seorang Papa, akan kucari Papaku sendiri.”

-Berliana Kusuma Putri-

“Mama!”

Rina tersenyum ketika sang putri yang masih berusia 5 tahun itu berlari menghampirinya. Liana terlihat gembira begitu menyadari sang Ibu sudah tiba untuk menjenguknya.

Hari itu masih sama seperti beberapa hari sebelumnya, Rina harus bolak-balik dari laboratorium tempat kerjanya ke rumah sakit tempat putrinya dirawat. Belakangan, kondisi kesehatan Liana memburuk. Jadi Rina dengan terpaksa harus merelakan putrinya dirawat inap di tempat ini.

Masih teringat jelas di ingatan Rina, tepat kemarin lusa, ia mendapat informasi dari tempat penitipan anak di laboratoriumnya. Liana secara tiba-tiba pingsan saat sedang membaca buku. Lagi-lagi, Rina bisa melihat hidung putrinya itu mengeluarkan darah. Wajah sang putri yang nampak pucat semakin terlihat memprihatinkan.

Sesampainya Rina di rumah sakit, dokter anak yang menangani Liana mengatakan hal yang sama sekali tak ingin ia dengar.

“Kanker darah Liana sudah memasuki stadium 3. Kita harus segera mencari pendonor sumsum tulang belakang untuknya. Jika tidak, kita harus bersiap dengan kemungkinan terburuk,” ucap Dokter Andi waktu itu.

Bukannya Rina tak mau putrinya sembuh. Ia juga ingin sang putri bisa bermain dan berlari dengan lincah selayaknya anak-anak seusianya. Ia ingin Liana sembuh. Tapi, bahkan sampai saat ini Rina belum bisa mendapatkan pendonor yang tepat untuk anaknya. Selain itu, persoalan finansial juga cukup membuat kepalanya pening.

Pikiran Rina kembali melayang ke beberapa bulan lalu. Dua bulan lalu tepatnya. Rina masih ingat benar, waktu itu bertemu dengan seorang bidadari. Bukan bidadari secara fakta. Melainkan seorang wanita yang tak hanya baik, parasnya pun cantik, perilakunya anggun. Perempuan itu mengenalkan dirinya sebagai Marlina.

Marlina secara tidak sengaja bertemu dengan Liana. Entah bagaimana dalam hanya kurun waktu satu jam, keduanya bisa terlihat akrab dan dekat. Saat itu, bahkan Marlina menawarkan bantuannya saat mengobrol dengan dirinya.

Mbak Rina, jika Mbak nggak keberatan. Biar saya bantu biaya pengobatan Liana.

Demikian ucap wanita manis tersebut waktu itu.

Bodoh.

Sangat bodoh.

Saat itu, karena merasa tidak enak dan tidak mau merepotkan sekaligus membebani orang lain yang tak dikenal, Rina langsung menolak tawaran Marlina. Ya, sebenarnya tidak salah juga sih jika Rina memikirkannya lagi. 

Rina sudah cukup senang melihat putrinya mendapat teman, mendapat sosok wanita yang bisa dipanggilnya sebagai ‘Tante’. Rina tak ingin merepotkan orang lain. Lagipula, persoalan Liana adalah masalahnya, tanggung jawabnya. Bukan hal yang tepat jika Rina harus melibatkan orang lain untuk menyelesaikannya.

Tapi kini, pergolakan batin dalam diri Rina memaksanya merutuki tindakan naifnya waktu itu. Sakit Liana semakin parah. Harusnya ia memang menerima tawaran Marlina dua bulan lalu.

Rina masih memandangi Liana kecil yang dengan ceria dan antusias datang ke arahnya. Wajah malaikat mungilnya itu masih terlihat sama. Cantik, meski pipinya yang dulu bulat menggemaskan kini nampak sangat tirus dan kurus. Bola mata cokelat milik Rina juga masih berbinar terang, menyimpan semangat yang belum padam seolah menyatakan keinginannya untuk tetap bertahan hidup. Berbanding terbalik dengan warna pucat yang membuat penampilan Liana terlihat kuyu.

No More Tears For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang