Pada suatu pagi yang cerah di hari minggu. Tampak Amato duduk di teras rumah. Tak ada seragam kerja yang melekat di badan tegapnya. Melainkan hanya baju kaos biasa bergambar robot (hadiah dari Gentar) dan kain sarung. Ayah dari tiga anak itu tampak begitu menikmati hari liburnya.
"Sendirian di pagi hari memang paling nikmat ditemani secangkir kopi hitam dan gorengan," kekeh Amato.
"Apalagi kalau anak-anak pergi main keluar. Pasti tenang rumah," ujarnya lalu menyesap kopinya. Amato senang saat anak-anaknya berada disekitarnya. Tapi terkadang ada saat dimana dia merasa butuh meluangkan waktu untuk diri sendiri.
Amato menoleh saat mendengar pintu rumah terbuka.
"Papa kami pergi dulu ya," pamit Gempa.
"Dah, Papa!" lambai Gentar.
Kedua anaknya itu kemudian mengikuti si sulung. Amato balas melambai dengan senyum terpasang di wajah brewokannya.
Saat anak-anaknya tak terlihat lagi dia menggumam sendiri. "Jadi sepi."
Amato tarik ucapannya. Karena semua anaknya pergi sekarang dia jadi kesepian. Padahal belum ada semenit mereka meninggalkannya.
Halilintar menghirup napas dalam-dalam. Udara sejuk dan bersih langsung mengisi paru-parunya. Dia terlihat begitu menikmati acara jalan pagi mereka. Suasana pagi yang tenang serta tidak banyak orang berlalu lalang yang amat Halilintar sukai saat quality time bersama kedua adiknya tersayang.
"Dede!"
Halilintar terkejut mendengar seruan panik Gempa. Dia berhenti melangkah lalu segera tersadar jika berjalan sendirian.
Halilintar segera berbalik. Dia berlari ke arah Gempa yang mencoba membangunkan Gentar yang terbaring di atas jalan. Melihat itu jantung Halilintar berdenyut semakin tak karuan.
"Dede kenapa?" tanya Halilintar khawatir.
"Kak, jalannya jangan cepet-cepet dong. Kami jadi harus lari. Dede aja sampai nggak kuat lari lagi," ucap Gempa cemberut.
Halilintar tampak bingung. Menurutnya dia hanya berjalan biasa.
Gempa menghela napas. Mula-mula Gentar tampak semangat mengejar langkah panjang si sulung tapi setelah beberapa menit dia sudah tidak sanggup berjalan. Gempa saja kewalahan mengejar kakak mereka apalagi Gentar.
Halilintar mengedarkan pandangannya dengan bingung. Dia baru sadar mereka sudah berjalan jauh dari rumah. Walau hanya Halilintar yang merasa berjalan. Sedangkan kedua adiknya harus berlari mengejar langkahnya.
Halilintar yang merasa kasihan dengan kedua adiknya lalu bertekad menyesuaikan langkah kakinya dengan mereka. Dia mengambil Gentar lalu mendudukkannya di atas kedua bahunya.
"Wah tinggi banget," gumam Gentar kagum.
Halilintar mendengkus.
"Makanya lain kali jangan nyalahin Kakak jalan kecepatan. Kalian aja yang pen—Dek?!" pekik Halilintar saat Gentar menjambak rambutnya dan Gempa mencubit pinggangnya. Menurut Halilintar cubitan Gempa jauh lebih sakit daripada pukulan pelatih klub karate. Saking sakitnya sampai jambakan Gentar tidak bisa dia rasakan. Rasanya ginjalnya ikut dicubit oleh Gempa.
Halilintar lalu menatap pantulan mereka di salah satu jendela rumah yang mereka lewati. Dapat dia lihat kedua adiknya tampak cemberut dengan pipi menggembung kesal.
"Kakak mana paham perasaan kami," ketus Gempa lalu pergi meninggalkan Halilintar.
Gentar turun dari pundak sang kakak sulung untuk mengejar Gempa. Sebelum pergi dia sempat menjulurkan lidah kesal pada Halilintar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twilight's Family (Halilintar|Gempa|Gentar)
FanfictionPunya dua anak yang kalau sudah marah bisa berubah jadi reog sungguh membuat Amato ingin menangis rasanya. Tapi untungnya Amato masih punya satu anak lagi yang bisa menjadi pawang keduanya dan mengubahnya menjadi jinak. Halilintar, Gempa, Gentar bro...