Perjalanan itu ku mulai dengan tujuan mencari ketenangan.
Aku, Shreya Divya Saanvi. Saat itu, aku harus meninggalkan kota dimana aku lahir dan tumbuh. Meninggalkan keluargaku di tengah rasa sakit dan kecewa yang selalu mereka terima. Aku yang sudah muak dengan tangisan yang tak kunjung reda, memilih untuk pergi dari tempat yang menurutku selalu menambah luka. Dengan sakit yang masih terasa sangat perih dan sebagiannya sudah berubah menjadi dendam, aku mencoba mencari ketenangan dengan menuju tempat yang kuharap akan menjadi penyembuh dari segala sakit yang kudapat.
Meski berat meninggalkan mereka, aku tetap melangkah dengan sangat yakin, tekad ku kuat demi kebahagiaan yang ingin ku capai. 20 tahun lamanya aku hidup, pertanyaan tentang mengapa kebahagiaan tak pernah menghampiri keluargaku, belum juga terjawab. Aku sudah lelah dengan air mata yang selalu kulihat jatuh dari mata Ibuku, aku sudah lelah dengan kekecewaan yang selalu tergambar dengan jelas di wajah Ayahku, aku sudah bosan dengan ejekan yang selalu Kakakku terima dari orang-orang disekitarnya, aku lelah mendengar kata sabar, aku lelah dengan ucapan semangat, aku lelah menahan amarah, aku juga sudah lelah dengan kekurangan yang selalu menjadi permasalahan yang tidak ada habisnya, aku lelah dengan semuanya. Tempat dimana harusnya aku mendapatkan kenyamanan, justru menjadi tempat yang membuka lukaku semakin lebar. Jangankan bersyukur, untuk tersenyum saja, aku sudah tidak mampu. Disana, setiap harinya, ku anggap apa yang terjadi dalam hidupku dan keluargaku, adalah sebuah ketidakadilan.
Aku berfikir kalau aku tidak bisa terus seperti itu. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun bukan? Maka dari itu, aku harus pergi dari sana, atau laraku perihnya akan semakin terasa. Mungkin kalian akan berpendapat bahwa aku egois, meninggalkan keluarga demi kebahagiaan ku sendiri. Tapi tidak bagiku, untuk dapat memberi mereka bahagia, tentunya aku harus meraih bahagiaku terlebih dahulu. Waktu itu, aku tidak bisa memastikan apakah keputusanku itu benar, tapi yang pasti aku tetap yakin dengan jalan yang ku pilih.
Hari itu, pagi hari di bulan ke-empat tahun 2012, tepat empat hari setelah usiaku genap 20 tahun, aku menyambut pagi dengan perasaan yang tak bisa aku gambarkan. Arunika pagi itu begitu menawan, tapi tidak mampu membuat hati ku merasa tenang. Dengan tangis Ibu yang harus melepas ku di stasiun kota, amarah dari Ayah yang tidak setuju atas keputusanku, dan Kakaku yang menatap dengan tatapan kecewa karena aku memilih untuk meninggalkan mereka semua, aku memantapkan hati untuk memulai perjalanan panjang mencari sebuah kebahagiaan.
Ibuku memberikan kalung emas yang beratnya tidak lebih dari 2 gram, satu-satunya harta berharga yang ia punya. Sedangkan Ayahku, meski amarahnya belum juga mereda, ia tetap memelukku erat sebagai ucapan perpisahan, memberikan beberapa lembar uang pecahan 20 ribuan, yang ku tahu itu adalah uang hasil penjualan beberapa kilo singkong dan pisang dari kebun yang kami punya. Pesan mereka menjadi bekal paling bermakna, katanya "Pergilah sejauh yang kamu mau, cari lah kebahagiaan yang kamu inginkan. Jika kamu merasa sudah selesai, pulang-mu tetap harus ke sini. Dengan atau tanpa kebahagiaan yang kamu maksud, Ayah dan Ibu tetap menantikan kamu pulang, kami akan tetap bangga. Perjalananmu harus penuh dengan kebaikan dan niat yang baik. Jangan kecewakan dirimu sendiri", pesan sederhana yang membuatku tersenyum ketika mendengarnya dan menambah keyakinan untuk memulai perjalanan itu.
Berbekal uang seadanya, pengalaman tak seberapa, dan tanpa ada yang menemani, aku memulai perjalanan itu dengan tekad yang kuat. Tidak ada keraguan apalagi air mata yang menetes.
Dan dalam perjalanan itu, aku menemukan banyak sekali cerita menakjubkan juga pengalaman yang tak kan pernah kulupakan. Cerita-cerita yang ku temukan, dan pengalaman yang ku dapatkan, menjadi pelajaran tak ternilai untuk hidupku. Dari sanalah aku menyadari, bahwa kehidupan ternyata selalu memberikan pelajaran yang tak pernah aku duga, dalam setiap langkah yang aku jalani. Aku belajar banyak tentang rasa sakit dan juga rasa syukur.
Pelajaran yang aku dapatkan, merubah pandanganku tentang semua hal yang telah aku dan keluargaku rasakan. Mengajarkan aku untuk melihat segala sesuatunya dengan mata yang lebih bijak dan hati yang penuh keikhlasan. Aku menyadari bahwa apa yang menjadi sulitku dan sakitku, justru membawaku pada pertumbuhan yang penuh dengan kekuatan dan kebijaksanaan. Aku melihatnya dengan penuh rasa syukur.
Kini, hidupku sudah berubah, jauh lebih baik, lebih bijak, lebih bersyukur dan jauh lebih siap untuk menghadapi setiap petualangan hidup yang masih menunggu di depan sana. Pertanyaan tentang bahagia dan rasa sakit, terjawab dengan sempurna melalui perjalananku yang tidak seberapa jauh itu. Dan aku ingin, semua orang tahu bagaimana cerita-cerita yang ku temukan dalam perjalanan yang luar biasa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sakit, Senyum dan Syukur
RandomJiwa yang hebat itu adalah mereka, Menjalani hidupnya dengan penuhu rasa, Darinya, kutemukan banyak makna, Menjadikan hidup jauh lebih berwarna. Lentera itu ada dalam setiap cerita mereka, Memberi cahaya dalam hidup yang kadang gulita, Memberi pelaj...