Ke-07 | Kakakku, Si Bodoh Nan Malang (2)

6 2 0
                                    

Ceritanya belum usai~

Kami senang, bangga, dan bahagia melihat kehidupan Kak Alya. Ia menjalani pekerjaannya dengan dedikasi tinggi dan selalu membawa kebahagiaan setiap kali pulang ke rumah. Namun, dua tahun kemudian, Kak Alya harus berhenti dari pekerjaannya setelah kontraknya habis. Meskipun hal ini sedikit mengecewakannya, Kak Alya tetap bersemangat dan segera mencari pekerjaan baru.

Tidak ada masalah, Kak Alya tetap hidup semangat dengan mencari pekerjaan yang baru, Selama masa menunggu pekerjaan baru, Kak Alya banyak menghabiskan waktunya di rumah. Pada awalnya, kami merasa senang karena bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kak Alya. Namun, dari situlah kami mulai menyadari satu hal yang sangat penting. Ingat tadi aku bilang kalau kami yakin, tidak ada trauma dalam dirinya atas semua yang telah ia lewati? Ternyata kami salah besar.

Selama di rumah, kami mulai melihat perubahan dalam diri Kak Alya yang tidak pernah kami perhatikan sebelumnya. Ia sering sekali melamun, tatapannya sering kosong, dan ia jarang sekali mau diajak bertemu orang, apalagi orang banyak. Entah apa yang ia pikirkan, tapi semakin lama kami tahu, ia benar-benar takut berhadapan dengan orang lain. Ia takut diremehkan, ia takut tidak dihargai, ia takut, ia takut akan segala hal yang akan membuatnya sakit. Menarik diri dari orang lain adalah caranya agar ia tidak terluka.

Setiap hari, kami melihat Kak Alya semakin tenggelam dalam ketakutannya. Tatapannya kosong, seolah-olah ia berada di dunia yang berbeda. Kami mencoba mengajaknya berbicara, mengajaknya keluar rumah untuk berjalan-jalan atau sekadar bertemu teman-teman lama, tetapi ia selalu menolak dengan alasan yang sama: "Aku tidak bisa, aku takut."

Ibu dan Ayah mulai khawatir. Mereka tahu bahwa sesuatu yang lebih dalam sedang mengganggu Kak Alya. Mereka mencoba berbicara dengannya, menawarkan dukungan dan kasih sayang, tetapi Kak Alya tetap menutup diri. Ia sering berkata, "Aku tidak ingin terluka lagi. Aku tidak ingin merasa sakit seperti dulu."

Saat itu, kami pun tidak menyadari bahwa Kak Alya sedang berjuang melawan trauma yang mendalam. Meskipun masa-masa sulit di sekolah dan perlakuan buruk dari keluarga Ayah telah berlalu, bekas lukanya masih ada. Ketakutannya akan diremehkan dan tidak dihargai membuatnya menarik diri dari dunia luar, mencari perlindungan dalam kesendirian.

Semakin hari, keadaan Kak Alya semakin parah. Olok-olok orang-orang dengan kata "bodoh" terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin merasa tidak percaya diri. Ia menjadi sangat takut membuat kesalahan dan merasa tidak mampu memutuskan apa pun. Bahkan untuk hal sederhana seperti memilih baju mana yang akan ia pakai, ia harus bertanya pada Ibu atau aku, karena ketakutannya membuatnya ragu pada setiap pilihan yang ada.

Setiap kali ia harus membuat keputusan, ia terlihat cemas dan ragu-ragu. "Bagaimana kalau ini salah? Bagaimana kalau aku terlihat bodoh?" Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering ia lontarkan. Ketakutan dan rasa tidak percaya diri yang mendalam membuatnya merasa tidak berdaya.

Sayang beribu sayang, keterbatasan ekonomi, pengetahuan, dan pengalaman membuat Ayah dan Ibu kurang peka untuk mengatasi ini semua. Saat itu usiaku masih anak-anak, dan aku juga belum paham dengan apa yang terjadi pada Kak Alya. Kami tidak tahu bagaimana cara menolongnya. Yang ada hanyalah perasaan kesal karena kami menganggap Kak Alya begitu lambat dalam berpikir dan mengambil keputusan.

Sering kali, ketika Kak Alya ragu-ragu memilih baju atau bingung dalam melakukan tugas sederhana, Ibu menggerutu dan mengeluh. "Kenapa sih lama sekali? Itu saja kok susah dipilih," keluh Ibu suatu hari tanpa menyadari dampaknya pada Kak Alya. Ayah dan Ibu pun kadang-kadang menunjukkan rasa frustrasi mereka, meski tidak bermaksud menyakitinya. "Alya, tolong jangan terlalu lama berpikir, nanti kita terlambat," kata Ibu dengan nada cemas yang tersembunyi. Atau ketika Kak Alya ragu dalam melakukan sesuatu, "Kok gitu aja nggak bisa sih?" Tanpa sadar, kami  mencemoohnya.

Sakit, Senyum dan SyukurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang