prolog

3.3K 143 5
                                    

Keana Madeline. Ketukan heels perempuan 27 tahun itu terdengar bersahutan, seiring dengan langkah panjang yang di tempuhnya. Kemeja yang sedikit kusut hingga helaian rambut yang terpisah dari ikatannya, tak mengusik pergerakan Keana yang tampak bersemangat mencegat langkah manusia lainnya. Umpatan dari orang-orang yang terusik dengan tingkahnya pun tak diindahkannya.

Bel cafe menjerit, menyambut Keana yang berlalu masuk. Terdiam sejenak. Pandangan Keana menyempit saat riuh pengunjung mendobrak pendengaran.

"Keana!" seruan pria dewasa dari sudut bangunan menarik atensinya.

Pupilnya melebar, selaras dengan garis bibir Keana saat wajah mereka bertumbukkan. Berbekal dorongan kuat dalam diri, Keana bergegas menghampiri meja yang disinggahi tunangannya.

"Abang!"

Tubuh mereka bertemu, saling mendekap dengan erat. Virgo Gideon. Pria yang langsung meluncur ke lokasi pertemuan sekembalinya ia dari Belanda, tersenyum kala wangi rambut Keana membius inderanya. Lama tertahan, pelukan mereka akhirnya terlepas juga.

"Duduk dulu."

Bak seorang gentleman, Virgo menarik kursi di depannya, lalu menuntun jemari Keana dengan lembut.

"Abang kan udah bilang, nggak usah lari. Jangan bandel deh, nanti kalo jatuh gimana?"

Keana nyengir. "Namanya juga mau ketemu tunangan."

Bibir Virgo terkulum. Selesai dengan Keana, dia juga ikut melandaskan pantatnya pada kursi yang tersedia.

"Abang pesenin jus melon ya?" Virgo bertanya tiba-tiba, membuat kelereng mata Keana beranjak ke arahnya.

"Boleh deh."

"Sekalian makan?"

Keana mendelik, dan dengan cepat menggeleng. "Eh, kalo itu nggak us..."

"Kata Mama, tadi pagi kamu nggak sempat sarapan loh."

Nafas Keana serasa terhenti. Perkataan yang kelewat lembut itu membuat hatinya berdesir. Namun di detik berikut ia membalik keadaan dengan memicingkan mata, curiga akan pertanyaan baru dalam kepala.

"Mama masih sering ngadu?"

Kurva bibir Virgo terpasang, mata mereka kembali bertemu. "Bukan ngadu, tapi emang Abangnya aja yang tanya."

"Kalo Abang, udah makan?" Keana balik memberi pertanyaaan, upaya agar terlepas dari tatapan sayu yang tergantung tanpa sengaja.

"Udah, di bandara."

"Kalo gitu aku juga udah,"

Ekor mata Virgo kian merosot. "Sayang?"

Cute!!.

Mata Keana terpejam, bibirnya turut merapat, takut jeritan hatinya sampai pada Virgo. Padahal dia tak bohong. Keana memang melewatkan sarapan karena diburu waktu, namun dia tetap menelan sepotong roti yang dibelikan sekretarisnya. Bagi Direktur Utama yang dikejar waktu, menyantap menu sederhana itu saja cukup.

"Makan dulu ya? Biar sekalian Abang pesenin."

Kelopak mata Keana tersingkap. "Eh, nggak usah Bang. Bentar lagi juga aku harus pergi."

"Kok cepet sih?" Tanya Virgo, lebih seperti protes.

"Sorry ya, padahal kita baru ketemu lagi."

"Kalo gitu kamu di sini aja, biar masalah kantor di urus sama yang lain."

"Nggak bisa, Bang. Masalahnya habis ini aku harus ketemu klien, dan nggak mungkin juga di undur. Jadi ... loh? Kayanya aku udah harus pergi deh Bang!" Arloji di pergelangan tangan Keana membuatnya memekik.

LAST CHANCE (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang