(~ —з—)~ ~(—ε— ~)
“AYO, THEODORE!!”
“JANGAN MAU KALAH, BUKTIKAN KALO ERECTOR YANG TERBAIK!!”
“KITA DUKUNG LO, THEODORE!!”
“VECHTER YANG TERBAIK!!”
“JANGAN DENGERIN MEREKA, POKOKNYA LO NGGAK BOLEH KALAH, MORGAN. INGAT TUJUAN KITA!!” Teriak para penonton dari arah tribun, menemani semangat kedua pembalap di atas sirkuit.
“Lumayan juga!” Theodore menyeringai di balik helm full facenya.
Berbeda dari lawannya, Morgan mati-matian memacu motornya dalam kecepatan tinggi. Tujuannya bukan hanya untuk mengalahkan Theodore dan menyumpal mulut musuhnya menggunakan debu kemenangan yang dia buat, tapi juga untuk membuat Keana menyesal.
“AYO MORGAN, AKU PERCAYA, KAMU PASTI BISA!!”
Morgan melirik dia yang menggemakan namanya. Lavina Valentine, gadis yang selalu mendukungnya atas apa pun keputusan Morgan. Benar-benar gadis yang sangat baik, sampai-sampai Morgan tidak bisa membiarkannya sendirian karena takut Lavina akan terluka.
Di balik helmnya, Morgan terkekeh saat dirinya tidak sengaja berjumpa dengan tingkah Lavina yang terlihat lucu di matanya. “Dasar,” gumamnya, gemas.
“KALO MAU PACARAN DI RUMAH BOS!!”
Setelah melempar kalimat itu, Theodore menarik penuh gas motornya. Tindakannya ini tak hanya membuat kuda besinya melesat cepat, tapi membuat dirinya mampu melampaui Morgan beserta kesombongannya di detik terakhir.
Lavina membulatkan mata. “MORGAN!!” Jeritnya panik saat melihat motor yang Morgan kendarai oleng, mungkin karena terkejut.
Tapi beruntung lah, Morgan berhasil mengendalikan laju kendaraannya, hingga pekik ketakutan dari orang-orang yang mendukungnya tak terealisasikan.
“Bangsat!” Umpat Morgan, buru-buru menambah laju motornya.
Sayangnya Morgan terlambat. Bendera kemenangan telah dikibarkan, bahkan sorak-sorai penonton pun menggema, seolah ingin menyadarkan Morgan bahwasanya dia telah kalah.
Karena marah, Morgan melempar helmnya, bahkan sebelum dia turun dari motornya. “Brengsek!!” Morgan mendesis hingga sudut bibirnya berkedut.
“Morgan!”
Morgan hanya melirik, sebelum akhirnya turun dan membiarkan Lavina bersama orang-orang itu mengerumuninya seperti semut.
“Morgan, kamu nggak apa-apa kan?”
Morgan tetap tak mengindahkan Lavina, bahkan juga pertanyaan lain yang jelas-jelas ditunjukkan padanya. Semua karena matanya tengah pergi pada satu titik, Keana. Sungguh, hatinya terasa sangat panas, melihat Keana justru tertawa bersama para anggota Vechter. Tidak hanya itu, Sebastian dan Virgo juga, seolah mereka sengaja mengejeknya dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST CHANCE (On Going)
RomanceSebenarnya siapa yang memainkan waktu? Pertanyaan itu terus saja mengisi benak Keana, saat sekali lagi dia dibawa ke masa lalu, tepatnya masa abu-abu. Meski bingung tapi beruntunglah dia karena ingatan dari kehidupan keduanya masih tersimpan dengan...